Dikutip dari akun Instagram @brin_indonesia, teknik ini dikenal dengan sebutan navigasi langit, yaitu cara menentukan arah mata angin atau posisi berdasarkan jarak sudut antara benda langit dan horizon pengamat. Alat bantu yang biasa digunakan antara lain busur atau sextant, meskipun dalam praktik tradisional, pengamatan bisa dilakukan dengan mata telanjang.
Contoh paling sederhana adalah menggunakan bintang terang atau rasi bintang. Di belahan bumi utara, bintang Polaris dalam rasi Ursa Minor digunakan sebagai penunjuk arah utara. Sementara itu, di belahan bumi selatan, rasi Crux atau Layang-Layang menjadi acuan untuk menentukan arah selatan.
Masyarakat tradisional Indonesia juga telah memanfaatkan rasi bintang sebagai panduan arah selama berabad-abad. Rasi Crux dikenal dengan nama Gubuk Penceng oleh masyarakat Jawa, sedangkan masyarakat Bugis menyebut rasi Orion sebagai Bintoeng Pajjekoe dan menggunakannya sebagai penunjuk arah barat.
Meski saat ini navigasi modern jauh lebih cepat dan akurat, teknik navigasi langit masih digunakan oleh sebagian pelaut sebagai alternatif, terutama jika terjadi gangguan sistem navigasi elektronik.
Kabar baiknya, siapa pun bisa mencoba teknik ini. Salah satu caranya dengan mengenali rasi Crux di langit malam yang berbentuk seperti layang-layang atau salib. Tarik garis imajiner dari bagian panjang rasi tersebut menuju garis horizon. Titik pertemuan garis itu dengan horizon menunjukkan arah selatan.
Peneliti dari Pusat Riset Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Gerhana Puannandra Putri, mengatakan penggunaan bintang untuk navigasi membuktikan ilmu astronomi sudah dimanfaatkan sejak lama dalam kehidupan sehari-hari. Ia menekankan pentingnya menjaga pengetahuan ini sebagai bagian dari kekayaan budaya bangsa. (Antariska)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News