Keempat mahasiswa itu, yakni Santi Andriyani, Salman Hafiz Ar-ramli Lubis, Nisa Munawwarah, dan Jessica Edelyne. Mereka menemukan senyawa aktif dalam kulit buah mangga yang potensial sebagai zat untuk membunuh larva nyamuk melalui kajian pustaka dari penelitian terdahulu.
“Dalam kulit mangga terdapat senyawa flavonoid, saponin, serta tanin yang berpotensi digunakan sebagai larvasida,” jelas Santi dikutip dari laman ugm.ac.id, Senin, 22 Januari 2204.
Santi menjelaskan flavonoid mampu mengganggu sistem saraf dan pernapasan larva. Sedangkan, saponin bisa menjadi racun lambung kuat pada serangga. Sementara itu, tanin mampu menghambat enzim pencernaan.
Gagasan yang diusung empat mahasiswa muda yang tergabung dalam tim MOSAIC (Mango Skin for Organic Sustainable Aedes Insect Control) ini berhasil mengantarkan mereka sebagai finalis dalam kompetisi Internasional Bio-Circular-Green economy (BCG) di Kasetsart University, Thailand. Final ajang kompetisi ilmiah ini diselengggarakan pada 18 Januari 2024 secara hybrid melalui Zoom dan offline.
Gagasan penggunaan limbah kulit buah mangga sebagai larvasida alami tidak hanya menjadi alternatif dalam membantu pencegahan kasus DBD saja. Namun, ini juga berkontribusi dalam mengurai persoalan lingkungan dengan mengolah limbah yang sebelumnya tidak dimanfaatkan dan hanya menjadi sampah bagi lingkungan.
Santi mencontohkan di Thailand pada 2020, total produksi mangga mencapai 1,66 juta ton. Hal ini menunjukkan adanya potensi besar limbah sampah kulit mangga di negara tersebut.
“Hal ini membuat kami berpikir limbah olahan yang berasal dari kulit buah mangga di Thailand memiliki potensi besar untuk mengatasi persoalan yang sedang dihadapi negaranya. Karena Thailand sendiri merupakan salah 1 produsen mangga terbesar di dunia,” beber dia.
Sementara itu, Salman mengungkapkan ide pengembangan larvasida alami berangkat dari keprihatinan mereka terhadap laporan WHO mengenai meningkatnya lonjakan tajam kasus DBD secara global. Lonjakan wabah demam berdarah dengue ditandai dengan peningkatan signifikan dalam jumlah, skala dan peningkatan kasus.
Bahkan, WHO menyatakan terjadinya lonjakan wabah pada saat ini diikuti dengan penyebaran ke wilayah yang sebelumnya belum terpapar DBD. Data WHO 2023 mencatat meski hampir 80 persen atau sekitar 4,1 juta kasus penyebaran wabah demam berdarah dengue dilaporkan terjadi di wilayah Amerika, akan tetapi di Asia Tenggara, terutama Thailand, prevalensi kejadian demam berdarah dengue pada 2023 meningkat tajam menjadi lebih dari 300 persen dari tahun sebelumnya.
Tercatat, pada 2022 angka kejadian demam berdarah dengue di Thailand sebesar 46.678 kasus, naik menjadi 136.655 kasus pada 2023. Adapun angka kematian akibat wabah tersebut di Thailand meningkat dari 34 menjadi 147 kematian pada periode yang sama.
Peneliti Pusat Kedokteran Herbal sekaligus pembimbing tim MOSAIC, Arko Jatmiko Wicaksono, mengatakan dengan keikutsertaan mahasiswa UGM dalam kompetisi maupun forum internasional bisa memberikan pengalaman bagi mereka. Gagasan yang diajukan juga dapat memberikan kontribusi dalam penyelesaian persoalan di tingkat global.
Baca juga: Guru Besar Unair Ungkap Jalan Panjang Penelitian Nyamuk Wolbachia untuk Tekan Kasus DBD |
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News