Humaniora digital ilus. DOK BRIN
Humaniora digital ilus. DOK BRIN

Modernisasi Naskah Kuno dengan Seni Pertunjukan Lewat Humaniora Digital

Renatha Swasty • 04 Februari 2025 17:33
Jakarta: Kepala Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra (OR Arbastra), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Herry Jogaswara, mengatakan humaniora digital dapat menjadi langkah modernisasi dalam hal transfer dari manuskrip atau naskah kuno ke seni pertunjukan. Hal ini menjadi salah satu wujud kreativitas sebagai upaya menerjemahkan manuskrip ke dalam bentuk-bentuk lain yang mudah dipahami masyarakat. 
 
Hal itu mengemuka dalam webinar Humaniora Digital dan Transformasi Manuskrip dalam Seni Pertunjukan yang diselenggarakan Pusat Riset Manuskrip dan Tradisi Lisan (PR MLTL). Herry menjelaskan mulai tahun 2026, pihaknya akan memperkenalkan istilah purwarupa. 
 
Ini sebagai sesuatu yang betul-betul nantinya manuskrip bisa dinikmati oleh publik dalam berbagai media, tidak hanya seni pertunjukan, tetapi juga dalam bentuk seni lainnya, seperti komik maupun game. 

Kepala PR MLTL BRIN, Sastri Sunarti, berharap melalui humaniora digital seluruh sumber manuskrip hasil riset para penelitinya dapat dimanfaatkan. Seperti halnya sastra literatur tradisi lisan dapat diberdayakan. Hal-hal yang tadinya dianggap sebagai sesuatu yang kuno, masa lalu dengan adanya humaniora digital dapat disebarluaskan dengan bantuan teknologi.
 
Peneliti Pasca Doktoral School of Oriental and African Studies (SOAS), University of London, Alan Darmawan, menyoroti cara membunyikan naskah manuskrip digital dan penyajiannya melalui seni pertunjukan. Ia memandang dari sudut bagaimana naskah dalam lingkungan sosial dan budaya. 
 
Dalam risetnya, ia memetakan budaya pernaskahan di Sumatera dan melihat kembali atau mempertimbangkan sebenarnya naska -naskah islam. Ia mengaku di SOAS, naskah dijadikan sebagai koleksi (perpustakaan naskah), aksara, bahasa, genre, bahan, penjilidan, dll. 
 
Dari risetnya itu, ia mengkategorikan naskah yang mewakili tiga wilayah, yaitu Aceh, Minangkabau, dan Palembang. Hal ini ditempuh dengan menelusuri perjalanan naskah, mempertimbangkan aspek material, dan para tekstual lainnya. 
 
Alan juga menyampaikan adanya Resonant Pages Project, yaitu reka ulang penyajian teks untuk penonton masa kini. Ini dengan pemanfaatan naskah digital dari tiga repository, yaitu Leiden Digital Collection, Qalamos, dan EAP. “Mereka menghasilkan karya kreatif, selain artikel ilmiah, buku, dan suntingan naskah,” jelas dia dikutip dari laman brin.go.id, Selasa, 4 Februari 2025. 
 
Baca juga: Refleksi Diri dalam Melepas Panah Jemparingan 

Di sini, terdapat kolaborasi antara peneliti dengan seniman tari dan musik. Seniman memahami naskah sebagai sumber kreasi seni, sedangkan peneliti memahami naskah melalui pertunjukan untuk pemanfaatan hasil riset.
 
Alan menyebutkan beberapa contoh yang dilakukan seperti penciptaan karya tari baru dari naskah cerita persebaran Dala’il al- Khayrat di dunia Islam dan Asia Tenggara, tradisi pembacaan shalawat, dan sebagainya. Terdapat tarian disertai gerak ritmis ritual.
 
Contoh lainnya, syair dari Palembang yaitu Syair Mambang Jauhari, serta Leva Khudri Balti, Anggara Satria, dan Djangat di Pekanbaru yang memadukan tradisi penceritaan yang menggabungkan syair, tarian, dan musikalisasi puisi. Kemudian Tambo Alam Minangkabau, yang merekam pembacaan naskah oleh Buya Apriya (Lima Puluh Kota). 
 
Caranya dengan merekonstruksi bunyi yang digambarkan dalam teks, membunyikan alat-alat musik yang disebut dalam teks, serta merekam suara alam dan aktivitas sosial sebagai konteks. Alan mengatakan contoh-contoh itu menunjukkan setiap pertunjukan adalah bukti kekuatan penceritaan, sebagai penciptaan permadani memesona yang menggabungkan sastra dan pertunjukan langsung dengan mulus. 
 
Peneliti PR MLTL BRIN, Agus Heryana, menyoroti transformasi manuskrip sebagai teks berbuah seni pertunjukan. Menurutnya, transformasi manuskrip dapat digambarkan dalam untaian kata, mulai dari teks menjadi gerak, dari gerak menjadi gerakan, lalu dari gerakan menjadi pertunjukan. 
 
“Teks bukanlah pertunjukan, pertunjukan pun bukan teks. Teks adalah makna, tersirat dan tersurat dalam manuskrip. Sementara, pertunjukan adalah ekspresi emosional pelaku seni, ” ucap dia. 
 
Agus lalu memberi contoh sebuah seni pertunjukkan pencak silat Ameng Timbangan. Seni ini menggambarkan olahraga bela diri aliran pencak silat Jawa Barat yang memiliki keunikan, yaitu pada gerakan pencaknya yang tidak memiliki unsur kekerasan. Sedangkan, menendang, memukul, serta mencengkram yang menimbulkan rasa sakit sangat dilarang. 
 
Semua itu didasarkan pada sumber ajaran kerohanian yang ditulis oleh Raden Moezni Angga Koesoemah dalam bentuk Teks Ajaran Timbangan. Salah satu ajarannya menekankan agar setiap manusia bersaudara dan memiliki rasa yang sama.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan