Jakarta: Tiga orang ibu-ibu sedang asyik meramal cuaca. Ada yang bilang, sekarang ini musim pancaroba.
Mereka mengeluhkan matahari yang sangat menyengat. "Bikin ubun-ubun pecah," katanya. Yang lain menimpali, "Neraka sudah bocor." Tapi, mereka juga bilang hujan bisa datang mendadak menggempur atap rumah. Jemuran yang tadinya separuh kering, bisa saja basah kembali.
Pembicaraan itu terdengar di sebuah warung tegal (Warteg) dalam gang bilangan Jakarta Selatan. Obrolan tiga ibu-ibu itu berlanjut dengan pembahasan yang terdengar sangat klinis.
"Bawa penyakit memang cuaca seperti ini. Anaknya ibu itu (tidak dapat disebutkan) kemarin dirawat karena DBD (Demam Berdarah Dengue)," lanjut percakapan tersebut.
Bicara DBD, penyakit itu tak bisa dianggap sepele. Faktanya, Indonesia menjadi salah satu negara dengan tingkat kasus DBD paling tinggi di Asia Tenggara.
Baca: Peneliti UGM: Bakteri Wolbachia Turunkan Kasus DBD Hingga 77%
Kemunculan DBD di Indonesia dipengaruhi lingkungan alam tropis dan sanitasi yang buruk. Setidaknya itulah yang diungkap peneliti senior pada Pusat Riset Biologi Molekular (PRBM) Eijkman Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), Tedjo Sasmono.
Tedjo diketahui telah melakukan penelitian terkait DBD bersama enam rekannya di BRIN sejak 2007. Menurut Tedjo, DBD juga sangat dipengaruhi oleh rendahnya kesadaran masyarakat akan kebersihan lingkungan.
Tedjo mengatakan, penelitiannya tentang DBD punya banyak topik. Ada soal dengue, dan arbovirus, kependekan dari Arthropod Borne Virus. Arbovirus adalah jenis virus yang menyebabkan dernam kuning, ensefalitis virus dan infeksi tertentu yang ditularkan ke manusia melalui berbagai jenis nyamuk.
"Terutama di epidemiologi molekuler, melihat genom virus, mengisolasi virus dan me-karakterisasinya di laboratorium. Bagaimana genetikanya hingga melihat asal-usul virus dengue di Indonesia," kata Tedjo ketika dihubungi Medcom.id, Sabtu, 13 November 2021.
Siapa sangka gerakannya bersama BRIN ini telah membawanya menjadi salah satu peneliti terbaik di Indonesia. Bahkan, pria yang memulai kariernya sebagai periset di LBM Eijkman pada 1994 itu kini menorehkan prestasi sebagai sosok yang masuk dalam daftar 2% saintis teratas dunia (Top 2 persen World Ranking Scientists).
FOLLOW US
Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan