Jakarta menjadi pertemuan berbagai enis, namun suku yang sudah mendiami lama di Jakarta ialah Suku Betawi. Suku Betawi dipercaya bersumber dari hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa di masa lalu.
Kata Betawi digunakan untuk menyatakan suku asli yang menghuni Jakarta dan bahasa Melayu Kreol yang digunakan dan upaya budi Melayunya.
Sejarawan, Ridwan Saidi Pasalnya, memperkirakan nama Betawi bersumber dari jenis tanaman pepohonan. Sebab, beberapa nama jenis flora selama ini digunakan pada pemberian nama tempat atau kawasan di Jakarta, seperti Gambir, Krekot, Bintaro, Grogol, dan lainnya.
Sehinga, kata "Betawi" bukan bersumber dari kata "Batavia", nama lama Kota Jakarta pada masa Hindia Belanda. Sebab, nama Batavia justru merujuk untuk wilayah asal nenek moyang orang Belanda.
Penggunaan kata Betawi sebagai sebuah suku yang pada masa hindia belanda diawali dengan pendirian organisasi yang bernama Perkoempoelan Kaoem Betawi pada 1923.
Bagaimana Betawi bisa muncul dan berkembang? Yuk simak sejarah Betawi dikutip dari laman unkris.ac.id:
Sejarah Betawi
Sejarawan Sagiman MD berpendapat sejarah Betawi diawali sejak zaman neolitikum. Sementara itu, alumni Fakultas Sejarah UI, Yahya Andi Saputra, berpendapat penduduk asli Betawi adalah penduduk Nusa Jawa.Penduduk asli Betawi bercakap Kawi (Jawa kuno). Penduduk juga mengenal huruf hanakacara, abjad bahasa Jawa dan Sunda. Jadi, penduduk asli Betawi telah berdiam di Jakarta dan sekitarnya sejak zaman dulu.
Yahya menyebut pada masa zaman ke-2, Jakarta dan sekitarnya termasuk wilayah kekuasaan Salakanagara atau Holoan yang terletak di kaki Gunung Salak, Bogor. Penduduk asli Betawi adalah rakyat kerajaan Salakanagara.
Pada penghabisan masa zaman ke-5, berdiri kerajaan Hindu Tarumanagara di tepi kali Citarum. Yahya menyebut ada yang mengasumsikan Tarumanagara merupakan kelanjutan kerajaan Salakanagara.
Hanya saja, ibu kota kerajaan dipindahkan dari kaki gunung Salak ke tepi kali Citarum. Penduduk asli Betawi dijadikan rakyat kerajaan Tarumanagara. Tepatnya, kedudukan ibu kota kerajaan di tepi sungai Candrabagha, yang oleh Poerbatjaraka diidentifikasi dengan sungai Bekasi.
Pada zaman Tarumagara, kesenian mulai bertambah sempurna. Petani Betawi membuat orang-orangan sawah untuk mengusir burung. Orang-orangan ini diberi baju dan bertopi, yang hingga kini masih bisa disaksikan di sawah-sawah menjelang panen.
Petani Betawi menyanyikan lagu sambil menggerak-gerakkan tangan orang-orangan sawah itu. Penduduk mengarak barongan yang dinamakan ondel-ondel. Ondel-ondel diarak dengan membunyikan gamelan.
Pada masa zaman ke-7, Kerajaan Tarumanagara ditaklukkan Kerajaan Sriwijaya yang beragama Budha. Di zaman kekuasaan Sriwijaya berdatangan penduduk Melayu dari Sumatera.
Mereka mendirikan pemukiman di pesisir Jakarta. Hal ini membuat bahasa Melayu menggantikan bahasa Kawi sebagai bahasa pergaulan. Ini dikarenakan terjadinya perkawinan silang penduduk asli dengan pendatang Melayu.
Mengikuti kajian Lance Castles, antropolog Universitas Indonesia, Yasmine Zaki Shahab, memperkirakan etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, selang 1815-1893. Hal ini berdasarkan studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis sejarawan Australia, Lance Castle.
Di zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu memperagakan sensus, yang diciptakan berdasarkan bangsa atau golongan etnis. Dalam data sensus penduduk Jakarta pada 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari beragam golongan etnis, tetapi tidak berada catatan mengenai golongan etnis Betawi.
Hasil sensus pada 1893 menunjukkan hilangnya golongan etnis yang sebelumnya ada. Misalnya, Arab dan Moor, Bali, Jawa, Sunda, Sulawesi Selatan, Sumbawa, Ambon dan Banda, dan Melayu.
Kemungkinan, kesemua suku bangsa Nusantara dan Arab Moor ini dikategorikan ke dalam kesatuan penduduk pribumi (Belanda: inlander) di Batavia yang berikutnya terserap ke dalam golongan etnis Betawi.
Selanjutnya, 10 tahun sesudah pengumuman hasil penelitian Lance Castles yakni pada 1977, arkeolog Uka Tjandarasasmita mengemukakan monografinya "Jakarta Raya dan Sekitarnya Dari Zaman Prasejarah Hingga Kerajaan Pajajaran (1977)".
Uka tidak menyebut monografinya untuk menangkis tesis Castles, tetapi secara arkeologis telah memberikan bukti-bukti kuat dan ilmiah tentang sejarah penghuni Jakarta dan sekitarnya dari masa sebelum Tarumanagara di masa zaman 5.
Dia menyebut paling tidak sejak zaman neolitikhum atau batu baru (3500 – 3000 tahun yang lalu) kawasan Jakarta dan sekitarnya di mana terdapat aliran-aliran sungai luhur, seperti Ciliwung, Cisadane, Kali Bekasi, Citarum pada tempat-tempat tertentu sudah ditinggali oleh warga manusia.
Beberapa tempat yang diyakini itu berpenghuni manusia, seperti Cengkareng, Sunter, Cilincing, Kebon Sirih, Tanah Abang, Rawa Belong, Sukabumi, Kebon Nanas, Jatinegara, Cawang, Cililitan, Kramat Jati, Condet, Pasar Minggu, Pondok Gede, Tanjung Barat, Lenteng Agung, Kelapa Dua, Cipete, Pasar Jumat, Karang Tengah, Ciputat, Pondok Cabe, Cipayung, dan Serpong. Serta menyebar hampir di semua wilayah Jakarta.
Dari alat-alat yang ditemukan di situs-situs itu, seperti kapak, beliung, pahat, pacul yang sudah diumpam halus dan memakai gagang dari kayu, disimpulkan warga manusia sudah mengenal pertanian (mungkin semacam perladangan) dan peternakan. Bahkan, juga mungkin telah mengenal struktur organisasi kemasyarakatan yang teratur.
Baca juga: Ini Asal Muasal Nama Kawasan di Jakarta yang Berawalan 'Ci' |
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id