Komisioner bidang Pendidikan KPAI, Retno Listyarti mengakui, bahwa sejumlah kebijakan Belajar Dari Rumah (BDR) atau Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) telah dibuat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sepanjang pandemi, "Namun sayangnya, kebijakan tersebut terus menuai masalah dan tidak juga dapat dicarikan solusinya oleh Pemerintah Pusat maupun daerah," kata Retno, dalam Catatan KPAI dalam rangka Hardiknas 2021, Sabtu, 1 Mei 2021.
Sejumlah kebijakan tersebut adalah Kebijakan Panduan BDR atau PJJ, kebijakan bantuan kuota internet, kebijakan kurikulum khusus dalam situasi darurat, kebijakan standar penilaian di masa pandemi. Terakhir, pemerintah juga melakukan tiga kali relaksasi terhadap SKB 4 Menteri tentang Pembelajaran Tatap Muka (PTM) di masa pandemi.
Menurut KPAI, tidak efektifnya sejumlah terobosan yang dibuat pemerintah untuk mengatasi BDR atau PJJ di karenakan BDR atau PJJ terlalu bertumpu pada internet. Akibatnya sejumlah kendala pembelajaran daring terjadi karena keragaman kondisi keluarga peserta didik, keragaman kondisi daerah seluruh Indonesia.
Terlebih lagi masih ada kesenjangan digital yang begitu lebar antardaerah di Indonesia. Mulai dari Jawa VS luar Jawa sampai daerah perkotaan VS pedesaan. Anak-anak dari keluarga kaya cenderung terlayani dengan PJJ secara daring, namun anak-anak dari keluarga miskin kurang terlayani, bahkan banyak yang sama sekali tidak terlayani.
"Hal ini berdampak kemudian dengan angka putus sekolah," ujar Retno.
Baca juga: Ini Saran Epidemiolog Guna Antisipasi Klaster Covid-19 di Sekolah
Retno juga menyoroti tidak pernah adanya pemetaan kesenjangan kemampuan digital dan kemampuan ekonomi antara anak-anak di pedesaan dengan di perkotaan. Kemudian juga antara anak-anak dari keluarga miskin dengan anak-anak dari keluarga kaya.
"Padahal BDR atau PJJ sangat dipengaruhi oleh faktor peranan orang tua peserta didik," terangnya.
Misalnya apakah ada pendampingan oleh orang tua, apakah orang tua memiliki kemampuan dalam penguasaan teknologi digital. Kemudian apakah keluarga memiliki gawai atau hanya memiliki satu, padahal anaknya lebih dari satu dan telepon genggam pun digunakan orang tua untuk bekerja.
Belum lagi menurut Retno, selama BDR atau PJJ ini belum terbangun komunikasi intensif antara orang tua dengan guru. Tidak ada pemetaan variasi BDR atau PJJ yang dibangun bersama antara guru, siswa, dan orang tua juga turut disinggungnya.
Misalnya, sistem pembelajaran seperti apa yang tepat atau sesuai dengan kondisi anak dari segi ekonomi keluarga, ketiadaan alat daring, ketidakstabilan sinyal, kondisi orang tua yang bekerja. "Apakah para guru memberikan umpan balik dari setiap penugasan yang diberikan?" tanya Retno.
Kebijakan BDR dan PJJ, kata Retno, terkesan menyamakan masalah sehingga hanya satu solusi untuk semua problem BDR atau PJJ yang ada. Misalnya bantuan kuota internet hingga Rp7 triliun.
Namun pada praktiknya banyak yang mubazir dan tetap tidak mampu mengatasi masalah pembelajaran anak-anak dari keluarga miskin yang tidak memiliki alat daring. Atau masalah anak-anak di pelosok yang berada pada wilayah blank spot.
"Peserta didik dari keluarga miskin dan di pelosok tetap saja tidak terlayani PJJ daring ketika kebijakannya tunggal, hanya memberikan bantuan kuota internet untuk semua masalah PJJ," imbuhnya.
Akibatnya, kondisi setelah satu tahun lebih BDR atau PJJ ini menimbulkan kejenuhan pada peserta didik. Tidak hanya itu, namun juga menurunkan semangat belajar, munculnya masalah alat daring, jaringan internet yang sulit, tidak adanya interaksi guru-siswa dalam proses BDR/PJJ, dan banyak anak kelas XII yang lulus tahun ini menunda kuliah karena sedang masa pandemi.
"Ini memunculkan potensi bertambahnya pengangguran, meningkatkan angka perkawinan anak dan pekerja anak," terangnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News