Berdasarkan penelitian AIDRAN dengan guru-guru di berbagai wilayah Indonesia, banyak siswa berkebutuhan khusus yang ada di sekolah inklusi maupun non-inklusi, tidak bisa bersekolah karena tidak ada pendampingan dari guru. Meskipun banyak guru yang sudah melakukan inisiatif untuk datang ke rumah siswa untuk memberikan materi pembelajaran.
“Kita bisa bayangkan, sebelum pandemi teman-teman disabilitas banyak mengalami kendala di sekolah dan perguruan tinggi. Tapi dengan pandemi dan pembelajaran online, masalah jadi jauh lebih besar lagi,” kata Dina saat menjadi penanggap dalam webinar berkonsep Ruang Bincang dari rangkaian Konferensi Knowledge to Policy (K2P) dengan tema “Advokasi Pendidikan dalam Merespons Pandemi Covid-19”, Rabu, 23 Maret 2022.
Hal ini lantas memberikan kekhawatiran bagi siswa berkebutuhan khusus, utamanya mahasiswa. Sebab, mereka segera memasuki dunia kerja.
Selain learning loss atau hilangnya pengetahuan dan kemampuan siswa, mereka tidak menerima bantuan dari pemerintah, seperti alat bantu laptop, ponsel, atau beasiswa. Dari datanya, 70 persen mahasiswa disabilitas tidak mendapatkan bantuan apa pun.
“Ini mengkhawatirkan karena siswa dengan disabilitas banyak datang dari kondisi ekonomi yang rendah,” ujar Dina.
Baca: Psikolog Unair Sarankan Skema Penertiban Pembelajaran Jarak Jauh
Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), Suharti Sutar mengakui learning loss semakin besar selama PJJ. Apalagi, tak semua pelajar bisa melakukan pembelajaran jarak jauh, seperti siswa dan mahasiswa yang tinggal di daerah 3T, hingga anak-anak dengan orang tua berpendapatan menengah ke bawah.
Namun, kata Suharti, pemerintah bisa mengurangi learning loss. Caranya dengan menerapkan kurikulum darurat sejak tahun lalu.
“Dengan kurikulum biasa, anak-anak bebannya sangat besar. Dengan pengurangan-pengurangan yang ada di dalam kurikulum darurat ini, meskipun pada kurikulum inti menjadi lebih baik,” kata Suharti.
Sementara itu, peneliti Senior, SMERU Research Institute, Ulfah Alifia, menjelaskan upaya mitigasi yang perlu dilakukan untuk meminimalkan penurunan kemampuan akademik siswa akibat terlalu lama menjalani PJJ. Pertama, ada intervensi khusus kepada guru dengan cara melakukan sebuah pengajaran terdiferensiasi atau pembelajaran yang memperhatikan level kemampuan siswa.
Namun, harus ada asesmen terlebih dulu kepada siswa. Selanjutnya, pembelajaran perlu difokuskan pada literasi dan numerasi, yang targetnya tidak memberatkan pelajar dan guru.
“Ada potensi campuran di masa depan, tapi tentunya pemerintah perlu berinvestasi, karena banyak guru kita yang kurang adaptif. Lalu pemerintah juga perlu berinvestasi pada sistem, karena orang tua perlu mendampingi siswa saat PJJ,” jelas dia
Lapangan Pekerjaan
Peneliti Article 33 Indonesia, Lukman Hakim, memaparkan rekomendasi yang dapat diberikan kepada pembuat kebijakan untuk meningkatkan keterserapan tamatan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), terutama dalam menghadapi lanskap ketenagakerjaan yang berubah saat pandemi. Menurut dia, pandemi praktis membuat ekonomi nasional melemah dari sisi pernawaran (supply) maupun permintaan (demand).Hal ini kemudian membuat banyak sektor bertumbangan, misalnya hiburan, pariwisata, dan restoran. Padahal, ketiga sektor tersebut merupakan pasar tenaga kerja bagi siswa lulusan SMK. Meskipun di saat yang sama, ada pula sektor usaha yang masih bertumbuh, seperti telekomunikasi, asuransi, hingga pertanian.
Untuk mengatasi learning loss maupun permasalahan ketiadaan tenaga kerja bagi lulusan SMK, Lukman menilai, pemerintah perlu membuat portal informasi mengenai pasar tenaga kerja yang masih tersedia. Dia juga berharap pemerintah dapat menjalin kerja sama lebih erat lagi dengan dunia usaha.
“Dengan kerja sama ini, siswa SMK bisa berkesempatan untuk praktik di perusahaan,” ujar dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News