Paulus lahir di Kampung Torea, sisi barat Fakfak, Papua, sebuah kota kecil yang dikelilingi bukit karst dan laut biru yang tenang. Ia kehilangan kedua orang tuanya pada usia tiga tahun.
Sejak saat itu, dia mesti tumbuh lebih cepat daripada anak-anak seusianya. Diasuh oleh kakek dan neneknya, masa kecil Paulus bukan masa yang penuh keceriaan seperti kebanyakan anak lainnya.
“Saya tidak pernah benar-benar mengenal papa mama saya. Tapi saya selalu percaya, mereka pasti ingin saya jadi orang yang tidak menyerah,” ucap Paulus, Sabtu, 5 Juli 2025.
Kehilangan keluarga bukan satu-satunya ujian hidup. Paulus juga memiliki keterbatasan fisik yang membuatnya sempat diragukan banyak orang.
Namun, keterbatasan itu menjadi pemantik semangat membuktikan bahwa ia tidak kalah dengan siapa pun.
Perkenalan Paulus dengan dunia digital berawal saat duduk di bangku SMP. Sebuah komputer tua di laboratorium sekolah SMP YPKK Fakfak.
“Saya tidak tahu kenapa, tapi sejak pertama kali belajar Word dan Excel, saya langsung suka. Rasanya seperti menemukan tempat di mana saya bisa menjadi siapa saja,” ujar Paulus.
Ketertarikannya tidak berhenti di sana. Ia mulai meminjam buku tentang komputer, menonton tutorial pemrograman lewat YouTube.
Dari sana, ia mulai mengenal bahasa pemrograman seperti HTML, JavaScript, Python, dan bahasa pemrograman lainnya. Semua dipelajari Paulus secara otodidak.
“Saya pikir, kalau orang lain bisa bikin aplikasi, saya juga harus bisa. Walau belajar sendiri, saya senang karena pelan-pelan mulai mengerti logika dan struktur program,” ujar dia.
Meski cerdas dan penuh semangat, mimpi Paulus sempat terancam pupus ketika lulus SMA. Tidak ada yang bisa membantunya secara finansial, sementara biaya kuliah bukan hal yang kecil bagi pemuda yatim piatu seperti dirinya.
Program Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP Kuliah) datang seperti lentera di tengah gelap. Paulus menjadi salah satu mahasiswa Orang Asli Papua yang menerima bantuan ini. Dengan beasiswa KIP Kuliah, semua biaya pendidikan dan sebagian biaya hidupnya ditanggung negara.
“Kalau bukan karena KIP Kuliah, saya pasti sudah kerja serabutan dan berhenti sekolah. Program ini tidak hanya bantu biaya kuliah, tapi juga kasih saya harapan menuntaskan cita-cita saya,” kata Paulus.
Kini, ia kuliah di Politeknik Negeri Fakfak, jurusan yang sangat ia impikan, Manajemen Informatika. Ia ingin menjadi programmer profesional, membangun aplikasi yang bisa membantu orang lain, terutama masyarakat di kampung-kampung Papua.
Baca juga: Adreas Selangkah Lebih Dekat Wujudkan Mimpi Jadi Tenaga Kesehatan Berkat KIP-Kuliah |
Cita-cita Paulus tidak berhenti di ruang kelas. Dengan modal ilmu yang didapat dari kampus dan semangat belajar yang tiada henti, ia kini sedang membangun sebuah aplikasi berbasis Artificial Intelligence (AI).
Meski belum rampung sepenuhnya, konsepnya cukup menarik, sebuah aplikasi berbasis AI yang dapat membantu masyarakat Papua. Ia masih merahasiakan detail aplikasi yang sedang dibangunnya.
Proyek ini dimulainya sebagai tugas mandiri. Ia tidak punya tim atau mentor khusus. Namun semangat belajarnya membuat ia terus maju, meskipun perangkat yang digunakan sudah sering ngadat dan koneksi jaringa putus-nyambung.
“Saya ingin teknologi itu bisa dinikmati juga oleh orang-orang kampung. Mereka mungkin tidak bisa baca atau menulis, tapi kalau bisa interaksi dengan aplikasi ini akan mendapat jawaban. itu bisa bantu mereka. Saya percaya, kalau tujuannya untuk kebaikan, pasti akan ada jalannya,” kata Paulus.
Perjalanan Paulus tidak ia tempuh sendirian. Beberapa dosen di kampus melihat potensi besarnya dan memberi dukungan moral serta akademik.
Salah satu dosennya, Bata Biru Saputri, dosen di Prodi Manajemen Informatika menyebut Paulus sebagai mahasiswa dengan karakter tangguh dan pembelajar luar biasa.
“Paulus merupakan mahasiswa yang tidak hanya rajin, namun juga tekun dan kreatif. Di tengah keterbatasannya, Paulus mampu berpikir membuat sesuatu yang bermanfaat. Kami bangga punya mahasiswa berprestasi seperti dia,” tutur Biru.
Teman-teman sekelasnya juga kagum pada ketekunan Paulus. Ia tidak banyak bicara, tapi selalu siap membantu bila ada yang kesulitan memahami materi. Di luar jam kuliah, Paulus kerap mengajak diskusi tentang pemrograman dan kecerdasan buatan.
Bagi Paulus, menjadi programmer bukan sekadar pekerjaan yang menjanjikan secara ekonomi. Ia melihat teknologi sebagai alat untuk memberdayakan.
Ia bermimpi suatu saat bisa mendirikan sekolah coding gratis bagi anak-anak Papua di kampung-kampung, terutama bagi mereka yang tidak mampu.
“Saya tahu rasanya tidak punya siapa-siapa dan tidak tahu harus ke mana. Saya ingin ada tempat di mana anak-anak bisa belajar teknologi tanpa harus bayar mahal. Supaya mereka bisa keluar dari lingkaran kemiskinan,” ujarnya.
Impian itu tidak muluk-muluk melihat semangat yang ia miliki. Ia percaya pendidikan dan teknologi adalah dua hal yang bisa menjadi pembebas paling kuat dari keterbatasan dan ketertinggalan.
“Saya tidak ingin dikasihani karena yatim piatu atau karena saya orang Papua. Saya hanya ingin diberi kesempatan yang sama. Dan kalau saya berhasil, saya akan bantu yang lain juga,” tutur dia.
Paulus menjadi inspirasi bagi mahasiswa lainnya, terutama bagi sesama mahasiswa Orang Asli Papua. Ia membuktikan semangat, ketekunan, dan dukungan yang tepat bisa membentuk seseorang menjadi agen perubahan, tidak peduli dari mana asalnya atau seperti apa masa lalunya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News