Kepemimpinan Satryo pun membawa optmisme di tengah terpaan isu negatif yang belakangan menyedot perhatian masyarakat. Satryo dinilai menjadi sosok tepat mempimpin kementerian yang membawahkan tiga bidang penting dalam pembangunan SDM di Tanah Air, yakni pendidikan tinggi, sains, dan teknologi.
Kepercayaan Presiden dan masyarakat ini tentu saja selaras dengan tingginya harapan pada Satryo yang tidak hanya diyakini akan menjawab sejumlah persoalan dan tantangan yang ada. Namun juga sejumlah isu negatif yang menjadi keluhan masyarakat.
Sebut saja dari mahalnya biaya pendidikan tinggi atau uang kuliah tunggal (UKT), utamanya di perguruan tinggi negeri (PTN), tindak kekerasan, naiknya tingkat bunuh diri di lingkungan pendidikan tinggi, hingga plagiarisme serta praktik jual beli gelar akademik yang mencederai dunia pendidikan.
Untuk itu, Medcom.id melakukan wawancara khusus dengan Mendiktisaintek, Satryo Soemantri Brodjonegoro yang membahas bagaimana dan apa saja yang akan dilakukan untuk merespons persoalan tersebut di masa kepemimpinannya. Mari kita simak petikan wawancaranya.

Mendiktisaintek, Satryo Soemantri Brodjonegoro menerima audiensi Medcom.id di Gedung D Kemendiktisaintek, Senayan, Jakarta. Foto: Medcom.id/Citra Larasati
Q: Dengan nomenklatur baru Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek). Apa saja yang akan menjadi fokus kementerian di bawah kepemimpinan Anda?
A: Yang pertama, bagaimana kita mengedukasi masyarakat tentang kegiatan riset dan pengembangan. Riset yang dilakukan oleh perusahaan, perguruan tinggi atau lembaga penelitian itu dapat disosialisasikan untuk kepentingan dunia perdagangan atau dunia industri.
Kedua, bagaimana Kementerian kami ini mencoba mengedukasi masyarakat dalam hal budaya ilmiah. Karena banyak sekali temuan-temuan atau hasil karya ilmiah ilmuwan kita itu seringkali kurang diapresiasi masyarakat, hanya karena tidak dipahami. Fokus kami adalah bagaimana para ilmuwan kita itu dapat menceritakan dengan mudah apa penemuannya yang bermanfaat untuk mereka (masyarakat).
Dengan dua program ini, ke depan Indonesia bisa menjadi negara maju. Kita punya industri, punya penelitian yang baik, punya industri unggulan, punya masyarakat yang punya budaya ilmiah. Sehingga kemajuan bangsa kita juga tumbuh karena adanya hasil-hasil temuan ilmiah yang bermanfaat dan digunakan oleh masyarakat.
Q: Program apa lagi yang sedang Kemendiktisaintek kerjakan dalam waktu dekat?
A: Dalam waktu dekat sebetulnya persiapan untuk kedua itu. Sementara program pendidikan tinggi itu yang rutin berjalan selama ini akan terus jalan. Untuk ke depan, pendidikan tinggi kita coba upayakan supaya adanya penataan kembali mengenai perguruan tinggi.
Ada peraturan-peraturan yang harus kita kembalikan, supaya perguruan tinggi lebih maju, lebih berinovasi dan berkiprah. Untuk kepentingan pengembangan kita sedang menyiapkan program untuk kebijakan bagaimana riset dikerjakan dengan baik dan hasilnya dapat dimanfaatkan industri atau masyarakat.
Q: Untuk progam-program tadi apakah akan ada direktorat baru untuk mendukungnya?
A: Ya, karena itu kita akan ada dua unit baru, di tengah kami akan ada dua dirjen (baru). Satu dirjen riset dan pengembangan, yang kedua dirjen sains dan teknologi.
Q: Siapa sosok-sosok yang akan menempati kedua jabatan baru ini?
A: Untuk Dirjen riset dan pengembangan yang akan kami rekrut adalah diaspora. Terakhir dia di Inggris, dia akan pulang ke Indonesia. Dia banyak pengalamannya, banyak karya-karyanya yang luar biasa, baik sebagai peneliti maupun sebagai pengembang industri, cocok untuk tugas kita ke depan ini. Kami minta tolong dia bantu di sini.
Q: Lalu untuk dirjen Saintek, apakah Anda sudah menemukan sosok calon yang cocok?
A: Sudah ada (calon) dirjennya, sedang memproses untuk pengangkatan. Yang bersangkutan dulu juga masih seorang peneliti. Dulu dia di LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Sekarang dia di BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional). Jadi kami minta untuk bantu kami dulu, jadi dirjen Saintek.
Q: Jadi apa pekerjaan rumah kedua dirjen ini nantinya?
A: Keduanya memastikan fungsi kementerian dalam hal keseluruhan pengembangan dan riset itu bisa terwujud. Karena harapan kami sebagai kementerian yang sekarang ini adalah bisa meningkatkan kualitas penelitian di Indonesia.
Oleh para peneliti kita, kemudian mempunyai potensi menjadi sebuah industri yang mempunyai nilai tambah yang tinggi. Karena ini kita dorong membantu programnya Presiden dalam pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen.
Untuk pertumbuhan ekonomi setinggi itu diperlukan suaru industri yang produktif. Industri yang nilai tambahnya tinggi. Industri tersebut memang hanya mungkin bisa diwujudkan kalau didukung riset. Kalau industri yang tidak didukung riset itu rendah nilai tambahnya, sulit untuk bisa mendorong ekonomi.
Baca juga: Mendiktisaintek Sebutkan Kriteria Penerima Beasiswa LPDP yang Tidak Wajib Pulang |
Q: Saat ini riset yang sudah dihasilkan tidak sedikit, tapi banyak yang terjebak di ‘lembah kematian’ atau ‘the valley of death’ sehingga gagal menuju hilirisasi dan komersialisasi. Bagaimana Kemendiktisaintek mengatasi tantangan ini?
A: Jadi memang tidak semudah yang dibayangkan meloncat itu (ke tahapan hilirisasi dan komersialisasi) ya. Karena dari proses setelah hasil penelitian itu dihasilkan bentuknya biasa prototype atau konsep atau rancangan untuk kemudian bisa dijadikan produk komersial yang punya nilai tambah tinggi. Itu panjang sekali prosesnya.
Jadi, misalnya setelah ada hasil riset kemudian harus diinvestigasi kira-kira dibutuhkan masyarakat tidak? Kalaupun dibutuhkan, apakah memang seperti itu atau ada perubahan-perubahan peningkatan. Katakanlah topiknya sudah cocok, masyarakat butuh, berarti harus dibuat produk ini, kan?
Pembuatannya pun tidak mudah. Karena berbeda antara membuat satu produk dengan buat yang massal, itu beda sekali. Jadi harus diupayakan juga bisnis plan-nya seperti apa, yang bikin seperti apa, alatnya seperti apa, setelah itu ada yang mendanai enggak untuk proses ini.
Karena industri yang nanti menggunakan, dia tidak mau untuk investasi mengatasi lembah kematian ini. Peneliti pun tidak mungkin dia bisa mengembangkan produknya menjadi komersial. Jadi itu juga satu tahapan yang sangat sulit.
Di sini pemerintah harus hadir. Di semua negara, proses hilirisasi riset jadi komersial itu tugas pemerintah. Bikin seperti ini berapa harganya, kalau harganya mahal sekali enggak ada yang beli.
Proses seperti ini memang tidak mudah, tapi kami akan coba menggandeng beberapa institusi yang mampu seperti ini dari luar negeri. Yang sudah punya pengalaman buat bantu kita mempercepat realisasi hasil riset untuk kepentingan industri.
Q: Tapi riset dan penelitian pendidikan tinggi tentu tidak ditinggal kan?
A: Tidak ditinggal, justru memang itu utamanya.
Q: Masih terkait pendidikan tinggi, belakangan banyak gaduh terkait pembiayaan, mahalnya UKT (uang kuliah tunggal) dan Jalur Mandiri di sistem penerimaan mahasiswa baru. Bagaimana rencana Anda menjawab persoalan ini?
A: Jadi memang setiap tahun kami mengupayakan adanya peningkatan dana pemerintah untuk mendukung pendidikan tinggi di perguruan-perguruan tinggi negeri yang pasti. Kita juga berpikir membantu perguruan tinggi swasta. PTN selama ini pendanaan dari pemerintah yang diberikan pada perguruan tinggi negeri itu maksimum separuh dari yang diperlukan kampus.
Sisanya, mereka harus cari sendiri. Bisa lewat SPP atau uang kuliah dan ada kegiatan lain. Seperti riset yang mendatangkan revenue untuk perguruan tinggi, karena kita memang berharap perguruan tinggi dengan dosen yang hebat-hebat itu berusaha punya kegiatan riset yang mendatangkan pendapatan bagi kampus.
Itu bisa dipakai untuk bantu pembiayaan kampus, selain dari uang kuliah yang memang diberlakukan pada mahasiswa. Uang kuliah ini memang isu yang menjadi menarik. Karena kalau mahal, mahasiswa tidak mampu berkuliah. Sedangkan kalau perguruan tinggi memberikan uang kuliah yang murah, mahasiswa senang, tapi kampus tidak cukup untuk operasional, ini juga masalah.
Jadi harus ada perimbangan di sini. Kita mengupayakan minta dari pemerintah dengan dana yang ada supaya ada peningkatan support pada perguruan tinggi negeri. Sehingga bisa mengurangi besaran uang kuliah yang dikenakan pada mahasiswa.
Tapi kita juga mencoba pada perguruan tinggi masing-masing agar coba deh ditinjau kembali efisiensi dalam tiap-tiap kampus. Karena ada beberapa kampus yang saya lihat agak kurang efisien, karena ada penggunaan dana untuk hal-hal yang tidak langsung berkaitan dengan pendidikan.
Misalnya, rekrut terlalu banyak orang. Dosen sebetulnya kalau di perguruan tinggi negeri besar-besar sudah cukup. Mereka enggak perlu lagi sih rekrut dosen baru. Mending uang yang ada itu tadi, yang buat dosen, kita alihkan untuk mahasiswa pendanaannya. Tapi yang paling utama itu tadi, kita mencari keseimbangan antara support pemerintah dengan uang kuliah yang dikenakan pada mahasiswa.

Mendiktisaintek, Satryo Soemantri Brodjonegoro. Foto: Medcom.id/Citra Larasati
Q: Skema UKT yang sudah berjalan selama ini bagaimana?
A: Kami sudah punya juga konsep dalam UKT itu sebetulnya, ada beberapa tingkat, beberapa tahapan dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah sesuai dengan kondisi kemampuan masyarakat di sekitarnya. Jadi, yang tertinggi itu memang dikenakan bagi mereka yang mampu. Sedangkan yang paling rendah untuk yang tidak mampu.
Sifatnya subsidi silang, karena yang mampu kita harapkan kalau bisa bantulah pendidikan. Yang tidak mampu pasti kita dukung karena kadang kejadian yang kemarin-kemarin terjadi itu karena perguruan tingginya mungkin tidak menerapkan (UKT) yang rendah itu. Tapi diambil yang paling tinggi atau juga mungkin yang dikenakan mahasiswa itu lebih daripada yang diatur, yaitu mengenai harus sesuai dengan kemampuan rata-rata masyarakat di sekitarnya.
Memang ada miskomunikasi saja dan mereka juga mungkin punya alasan, soalnya kan pemerintah kurang kasih support-nya. Jadi kita harus mencari formula bagaimana kita sepakati antara dana yang kita berikan pada mereka dengan uang kuliah yang sepatutnya dikenakan pada mahasiswa.
Terpenting juga adalah kalau ada penerapan uang kuliah, ditetapkannya harus setelah anaknya diterima. Jadi tidak memengaruhi jalan sebelumnya, sudah diterima baru lihat mampu seberapa. Kalau sebelumnya mau UKT yang mana, itu tidak boleh.
Secara moral, setelah dia diterima sebagai mahasiswa baru diberikan uang kuliah tersebut, baru ditentukan berapa UKT-nya sesuai dengan kondisi ekonomi yang bersangkutan. Juga terbuka untuk masa sanggah, semua kan terbuka.
Q: Pemerintah tengah giat-giatnya mendorong PTN menjadi PTN-BH. Di satu sisi PTN-BH identik dengan otonomi dan kemandirian yang berdampak pada tingginya UKT. Apalagi dengan keleluasan membuka jalur mandiri hingga 50% dari kuota PTN. Bagaimana Anda mencari titik keseimbangan untuk persoalan ini?
A: Ini ada pemahaman yang mungkin kurang pas. Diluruskan di sini. Jadi yang disebut kemandirian (PTNBH) bukan kemandirian dari fiskal. Sama sekali tidak ada pemikiran mengenai kemandirian dalam bidang pembiayaan, tetap negara itu mendanai perguruan tinggi negeri.
PTN-BH artinya dia ada kemandirian dalam tata kelola untuk penggunaan dana. Penggunaan loh, bukan mencari dana. Penggunaan dana, mereka punya kemandirian tata kelola akademik, mereka punya kemandirian buka prodi mau nutup prodi, sangat tinggi kewenangannya.
Memang di sini kita masih harus terus berkomunikasi dengan Kementerian Keuangan. Memang ada pemahaman yang mungkin belum tepat dari pihak keuangan, mereka mengesankan kalau mandiri itu bisa cari uang sendiri.
Itu salah, tidak boleh, karena ini kampus negara. Jadi yang saya katakan dari awal itu kalau dia diberi kemandirian dari sini, di sisi hukum artinya dia bisa menata kelola dirinya.
Manajemennya pembuatan kebijakan, keputusan, silakan juga dalam hal penggunaan keuangan. Negara kasih jumlah tertentu, tapi silakan dikelola dengan maksimal itu dengan kemandirian yang kita berikan.
Kalau mereka mau cari tambahan, enggak ada masalah, tapi tidak dengan membebani keuangan kuliah. Bisa cari tambahan dari misalnya riset, kerja sama dengan masyarakat atau bersama dengan perusahaan atau apa itu, untuk mendatangkan pendapatan lewat ekspertis dari dosen-dosen.
Yang tidak boleh adalah mencari tambahan dari menaikkan uang kuliah, ataupun mencari uang dari menambah mahasiswa yang terlalu banyak. Itu tidak boleh, karena kita lihat sekarang kampus-kampus itu mencari uang, karena tidak bisa menaikkan uang kuliah, orangnya dibanyakin. Kasihan nasib PTS.
Sebenarnya kita sudah carikan, sudah ada formulanya, tinggal kita sepakati bersama, antara Kemenkeu. kementerian kami, dengan para rektor, bahwasanya PTNBH itu kemandiriannya tata kelola bukan (kemandirian) mencari uang. Negara tetap bayar sesuai kewajibannya
Tambahan untuk mereka yang cari revenue silakan, tapi tidak dengan menaikkan uang kuliah, atau menambah mahasiswa yang berlebihan.
Q: Artinya akan ada batasan jumlah mahasiswa setiap rekrut setiap tahun atau seperti apa?
A: Kita akan atur itu karena tidak sehat juga kalau terlalu banyak mahasiswa di kampus. Nanti kan kita bicarakan, oke kita bantu negara bantu segini, tapi tolong mahasiswanya juga dijaga dengan populasi yang normal. Jangan menaikkan uang kuliah yang berlebihan dan kalaupun pakai mandiri, mandirinya pun harus disesuaikan dengan kebutuhan dari kampusnya. Berkeadilan, dan tidak dikenakan sebelum dia diterima, dibicarakan setelah dia diterima sebagai sumbangan.
Q: Jadi Anda tegas soal otonomi PTN-BH adalah bukan kemandirian dalam mencari uang?
A: Di pihak kami yang belum ada kepastian, karena PTN takut kalau sudah PTNBH dikurangi dari pihak pemerintah, mereka cari cara untuk nambah. Harusnya tidak, tapi kadang-kadang ini harus saya cek lagi dengan Kemenkeu, kadang-kadang mereka (PTN) menganggapnya begitu.
Karena di temen-teman di kementerian keuangan menganggap kalau otonomi itu harusnya bisa cari uang sendiri. Kita akan kembalikan lagi, jumlah (anggaran dari pemerintah) jangan dikurangi, supaya kampus dapat berjalan dengan baik. Tidak perlu menambah mandiri, tidak perlu nambah mahasiswa, tidak perlu menambah uang kuliah.
Q: Terkait jumlah yang mahasiswanya agak membangkak di PTN ini, konon katanya ini juga untuk memenuhi syarat-syarat ikut pe-ranking-an global, semacam QS WUR, Times Higher Education World Education Ranking, dan sebagainya ini jadi dilema juga sepertinya?
A: Saya kalau ada orang yang bikin ranking saya agak kurang setuju, udah nggak usah di-ranking lah. Oleh karena itu saya katakan (perguruan tinggi) kita enggak perlu ranking.
Selama ini mungkin penamaan (branding) kampus tergantung ranking gitu, nah ini kita mau ubah. Penamaan kampus tidak pakai ranking. Saya enggak setuju ranking, saya nggak percaya ranking.
Q: Termasuk yang ranking dunia seperti QS WUR, THE WUR?
A: Iya itu kan dia bikin gitu untuk cari uang juga kan? Kita harus bayar. Itu juga salah satu yang bikin cost bengkak. Kalau dia mau silakan, tapi jangan membebani, nah jadi nggak pakai ranking, sehingga mereka tidak perlu mengejar jumlah mahasiswa. Yang penting kita mau lihat dampaknya kampus pada masyarakat seperti apa, manfaatnya.
Kalau manfaatnya kecil kan kita harus adakan suatu upaya perbaikan, jadi seperti itulah manfaat kampus untuk masyarakat seperti apa. Jangan sampai manfaatnya kecil malah jadi tidak signifikan.
Q: Tapi untuk memperkuat branding kampus bahwa dia ada di posisi tertentu itu seperti apa?
A: Bukan posisi lah. Tapi kalau kampus harus punya keunikan, itu betul. Harus unik, supaya orang nyari bukan karena daftar di mana-mana enggak dapet baru pindah ke situ. Kalau dia unik, dia pasti jadi tujuan pertama dari pelamar. Apa keunikannya? Terserah, ada macam-macam yang bisa dijadikan keunikan.
Yang kedua, untuk branding itu bisa dengan unik atau dengan misi yang jelas. Apa misi kampus ini? Karena menurut saya kampus itu akan bermanfaat untuk masyarakat.
Jadi kita tanya masyarakat. Kalau masyarakat setuju kampus itu, dia mau masuk, enggak ada masalah.
Makanya definisi mutu ke depan, bukan lagi peringkat atau standar, tapi lebih kepada saya mengecek nanti apakah perguruan tinggi tersebut mampu memenuhi janjinya kepada masyarakat.
Misalnya kampus berjanji, kalau kamu masuk kampus sini akan menciptakan orang intelektual, iman, taqwa, sehat, sejahtera, etika, semua. Bisa enggak seperti itu? Mungkin enggak kan?
Sederhana saja, misalnya ada kampus yang punya target 2 atau 3 lulusannya itu pasti akan bekerja di perusahaan internasional ada tuh, betul tercapai sama dia. Itu laku sekali, kan itu janjinya awal-awal gitu kan.
Q: Apakah kampus kita sudah ada yang mendekati seperti itu?
A: Ada, sudah lumayan. Artinya mereka punya keunikan. Misalnya, ada keunikan juga kampus berasrama. Kalau IPB kan berasrama untuk mahasiswa di tahun pertama. Tapi ini seluruh pendidikannya, 4 tahun pakai asrama, itu daya tariknya tinggi sekali.
Karena anaknya jadi santun, tertib, enggak ada demo-demo di situ. Anaknya jadi santun semua, jadi itu daya tariknya tinggi.
Jadi harus unik, uniknya apa itu terserah. Jadi ke sana kemanfaatannya.
Q: Di isu pendidikan tinggi lumayan masih hangat juga adanya kekerasan dan Tingkat bunuh diri di lingkungan kampus. Bagaimana Anda memandang fenomena ini?
A: Memang ini banyak faktor ya. Ini sedang kita adakan penelaahan di tiap kampus yang ada kejadian seperti ini. Kita mau lihat lagi apa itu apa sebabnya, bagaimana mitigasinya, bagaimana pencegahan ke depannya.
Sebetulnya secara umum anak SMA masuk pendidikan tinggi itu kan ada culture shock, perubahan yang siginifikan dalam kehidupan dia. Dia selama ini masih bersa,a orang tua, terus dia sekarang sendiri, lebih mandiri. Ada yang memang siap, ada yang tidak siap.
Mungkin yang enggak siap ini ada tekanan dari teman-teman juga, banyak yang susah kemudian dia bunuh diri, enggak tahu apakah karena hal itu atau karena hal lain.
Tapi yang di ITB saya cek teman-teman di ITB memang dia anaknya pintar sebetulnya tapi enggak tau, mungkin merasa yang namanya fisika, kimia, kok katanya berat sekali buat dia.
Q: Apakah yang di ITB ada indikasi salah jurusan?
A: Kalau tingkat satu kan harus dapet semua (mata kuliah fisika, kimia) di ITB. Kita sedang mau cek apakah mungkin kami salah mengajar sehingga dia tidak mengerti, atau memang dia punya masalah psikologis lain. Sehingga dia tidak nyaman belajar di ITB.
Itu baru tangkapan kami ya, karena memang banyak kejadian teman-teman dari SMA ke perguruan tinggi, mengalami perubahan yang luar biasa signifikan.
Dan anak-anak yang mungkin tidak tough bawaannya ini, dia enggak survive. Kalau masih ada orang tuanya sih lumayan.
Baca juga: Penerima Beasiswa LPDP Tak Pulang Kena Sanksi, Mendiktisaintek: Dosa Kita |
Q: Terkait optimalisasi Beasiswa LPDP juga menarik perhatian publik. Arah perencanaannya seperti apa?
A: Optimalisasinya kita arahkan kepada bidang-bidang yang menjadi prioritas pemerintah. Misalnya swasembada pangan, swasembada energi, ketersediaan air untuk kehidupan, kemudian hilirisasi industri berbasis sumber daya alam maupun swasembada mineral. Jadi kita arahkan mereka melalui bidang-bidang itu saat kuliah di luar negeri, setelah selesai mereka pulang, kemudian membantu kita membangun industri yang terkait untuk 4 topik tadi.
Q: Ini memunculkan kekhawatiran baru, karena prioritas-prioritas ini semuanya berbau sains. Bagaimana dengan Nasib beasiswa-beasiswa bidang sosial humaniora, apakah tetap mendapat ruang?
A: Ruang pasti ada dan mohon diingat, yang namanya sains itu enggak cuma teknologi sains. Kan semua sains kan? Cuma memang kita fokuskan untuk yang STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics).
Q: Kenapa?
A: Karena kita masih kurang di sini, kita push yang sana, yang lain jalan terus seperti biasa. Cuma yang STEM ini lebih banyak porsinya. Kita enggak akan menghilangkan yang sudah ada untuk bidang lain. Bidang STEM kita push supaya mempercepat industri kita ke depan.
Q: Terkait kuota penerima beasiswa LPDP, disebut tak selalu terserap secara penuh. Salah satunya karena jumlah pendaftar yang sesuai kualifikasi LPDP masih minim. Apa yang akan Kementerian lakukan untuk meningkatkan keterserapan beasiswa LPDP?
A: Kita sudah punya beberapa afirmasi. Jadi yang beasiswa umum itu daftar seperti biasa, ikut seleksi, ikut tes. Ada juga afirmasi untuk teman-teman di Indonesia Timur, karena mungkin dia bahasa Inggrisnya kurang, kita adakan proses seleksi yang standarnya sesuai kemampuan mereka. Tidak kita persulit di bahasa Inggrisnya misalnya untuk sekolah-sekolah (kampus tujuan) lokal.
Kecuali kalau kampus tujuan luar negeri, harus ada tambahan bahasa Inggris. Intinya, setiap masyarakat baik yang sudah siap atau belum siap kita kasih peluang. Kita kasih juga afirmasi, supaya mereka bisa daftar seperti teman-teman yang lain. Tentu dengan peluang yang juga sama.
Q: Kemudian terkait itu plagiarisme dan jual beli gelar akademik di perguruan tinggi. Apakah akan ditertibkan?
A: Saya minta kepada setiap pimpinan perguruan tinggi memastikan tidak ada kegiatan perlagiarisme di kampusnya masing-masing. Tolong tiap rektor atau direktur pastikan pimpinan di masing-masing perguruan tinggi bisa mencegah terjadinya plagiarisme. Yang seperti itu tolong segera ditindak saja secara lokal. Tidak perlu 'colek-colek' pemerintah, itu karena perlagiarisme sudah melawan atau melanggar moral. Moral kita dilanggar.
Q: Meskipun melibatkan nama-nama besar?
A: Siapa pun yang plagiat harus ditindak. Paling tidak dibatalkan entah itu paper-nya dibatalkan, atau gelarnya dibatalkan, itu bisa. Kampus harus punya kewenangan untuk itu. Kalau dia enggak melakukan itu, artinya dia tidak menjaga moral dong.
Q: Terkait program Beasiswa OSC (Online Scholarship Competition) yang diinisiasi Medcom.id (Media Group), bagaimana tanggapan Anda?
A: Sangat baik OSC memberi kesempatan anak bisa berkuliah dengan bantuan beasiswa dari Metro TV dan Media Group. Dan itu bisa diperluas lebih baik lagi, sekaligus juga agar mereka punya kesempatan belajar sambil mendapat pekerjaan juga.
Jadi baik kalau mereka selain diberikan beasiswa, diberikan juga pengalaman dan manfaat yang cukup untuk dia bisa berkarya sesuai bidang yang dia kerjakan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News