Pengamat Pendidikan dari Universitas Negeri Semarang (Unnes), Edi Subkhan memaparkan, pelaksanaan serempak pada satu waktu membutuhkan dana tidak sedikit. Sudah banyak bukti menunjukkan jika UN menyedot pendanaan besar, karena persiapan dan pelaksanaan yang tidak sedikit, baik dari segi sumber daya manusia hingga kebutuhan pendukung lainnya.
Dengan anggaran pendidikan terbatas, penyelenggaraan kembali UN diprediksi akan membuat Kemendikdasmen kewalahan. Terlebih lagi dengan janji politik Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka yang akan menaikkan gaji para guru.
"Pendanaan saja sudah banyak, belum lagi memenuhi janji politik soal kenaikan gaji guru dan lainnya, ini pasti akan tersedot banyak. Ini harus diperhatikan secara multidimensi," ujar Edi.
Di samping itu, kata Edi, energi yang dihabiskan pun tidak sedikit. Banyak pihak diterjunkan untuk penyelenggaraan UN yang diselenggarakan bersama di seluruh Indonesia.
Bahkan pada satu waktu, petugas keamanan pun ikut terjun karena kondisi tertentu, seperti pencegahan kebocoran soal. Edi menyoroti, dengan pendanaan dan energi yang besar, hasil yang ingin didapatkan dengan pelaksanaan UN tidak sepadan.
Persoalan kecurangan, kebocoran soal, rasa stres, hingga pertaruhan citra sekolah membuat pelaksanaan UN menjadi masalah baru untuk deretan masalah pendidikan belum terselesaikan.
Guru Besar Matematika Institut Teknologi Bandung (ITB), Iwan Pranoto juga menilai jika UN kembali dilaksanakan, maka itu akan menjadi kebijakan yang sangat tidak jelas. Penerapan UN justru hanya membuang dana yang sebenarnya bisa disalurkan untuk mendorong kompetensi guru untuk lebih baik dan memperbaiki fasilitas pendidikan di berbagai daerah.
Kualitas pendidikan Indonesia tidak merata pun menjadi tantangan tidak terselesaikan sejak UN pertama kali diberlakukan pada 2005. "UN untuk Indonesia ini tidak relevan, kita sangat luas dan berbeda, masa mau membandingkan yang di Papua, Kalimantan, dengan yang di Jakarta, ini kan tidak cocok," ujar Iwan.
Iwan menyatakan, ujian akhir sebaiknya diserahkan kepada guru masing-masing sekolah sebab mereka mengetahui proses dan perkembangan peserta didik. Penentuan seperti UN dinilai akan menimbulkan tekanan terhadap peserta didik dan menyingkirkan peran guru dalam proses belajar.
Asesmen Nasional dinilai sudah cukup menjadi solusi dalam melihat standar dalam pendidikan nasional. Dengan menggunakan sampel yang ada sudah dapat mengukur kualitas pendidikan karena melibatkan Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), survei karakter, dan survei lingkungan belajar.
"Seperti orang lakukan medical check up, ini periksa darah tidak semua darah di keluarkan tapi sampling, sama dengan pendidikan ini, tidak usah uji semua, jadi tidak masuk akal," ujar Iwan.
Guru SMA Yapera Tangerang Irmayanti Nugraha mempertanyakan alasan kuat kembali munculnya kajian terhadap UN. Sebab usai penghapusan UN yang tertera dalam Surat Edaran Mendikbud Nomor 1 Tahun 2021, tidak ada pihak memprotes keputusan tersebut. Hal itu menunjukan banyak pihak setuju jika UN memang tidak memiliki efek yang signifikan terhadap hasil pendidikan di sekolah.
Irma justru sangat bersyukur saat keputusan penghapusan UN dilakukan. Penyelenggaran UN sangat terasa memberatkan bagi peserta didik dan pendidik, bahkan orang tua murid. UN merupakan momen yang sifatnya "high stakes" atau situasi yang mempertaruhkan begitu banyak hal.
"Nasib murid, orang tua, sekolah, pemerintah daerah, ini hasilnya dari situ. Kepentingan besar ini, sehingga banyak dampak, termasuk psikologis dan mengganggu pendidikan sejati yang seharusnya dijalankan sekolah," kata Irma.
Penolakan Irma terhadap UN pun bukan karena dia berada di lingkungan sekolah yang penuh fasilitas dan kemewahan. Justru dia merasakan sebagai guru di sekolah swasta dengan murid menengah ke bawah di daerah Ciledug.
Posisi itu yang membuatnya melihat bahwa UN tidak mendorong perbaikan kualitas pendidikan di sekolah. UN malah mengubah sekolah menjadi tempat bimbingan belajar, hanya berfokus pada pembahasan soal semata.
Murid difokuskan untuk menjawab pertanyaan dari mata pelajaran yang akan masuk dalam UN dan akhirnya menyampingkan hal lain, termasuk proses pembentukan karakter.
"Sekolah jangan jadi bimbel, karena sekolah menumbuhkan adab, mengembangkan minat dan bakat, membangun karakter, meningkatkan kapasitas kehidupan, ini tergeser dan habis karena drilling," ujar Irma.
Irma pun melihat UN tidak membuat para murid memiliki semangat belajar karena mereka akhirnya melakukan itu karena rasa takut dan tekanan. Cara ini dinilai salah karena tidak mendorong pengembangan karakter yang memang seharusnya dilakukan dalam pendidikan.
Baca juga: Peneliti BRIN Dukung Wacana Pengembalian Ujian Nasional |
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News