Ilustrasi. Foto: Antara/Zabur Karuru
Ilustrasi. Foto: Antara/Zabur Karuru

Pakar UGM Usulkan Penulisan Ulang Sejarah G30S

Arga sumantri • 05 Oktober 2020 15:30
Yogyakarta: Kepala Pusat Studi Pancasila (PSP) Universitas Gadjah Mada (UGM), Agus Wahyudi, mengusulkan agar dilakukan penulisan ulang sejarah Gerakan 30 September 1965 (G30S) melalui riset mendalam dari kalangan akademisi dan sejarawan. Menurut dia, informasi sejarah yang diterima masyarakat selama ini mungkin terkait kepentingan penguasa di masa lalu. 
 
Namun, kata dia, jika penulisan sebuah peristiwa sejarah betul-betul bersumber dan terbuka untuk mendapatkan ujian atau validasi dari sumber yang beragam pada pusat-pusat riset dan pengkajian ilmiah tentu sangat diharapkan mendapatkan kebenaran yang sesungguhnya. 
 
"Tentu ini berlaku bukan hanya dalam bidang sejarah, tetapi usaha pencarian kebenaran pada umumnya dalam tradisi ilmu pengetahuan,” kata Agus Wahyudi melalui siaran pers, Senin, 5 Oktober 2020.

Menurutnya, hal ini jadi satu-satunya cara dan harapan yang paling mungkin untuk mengatasi, atau paling tidak mendekati kebenaran dari kontroversi sejarah G30S. Penulisan ulang bisa melalui pendekatan ilmiah dan kajian yang serius dan sesuai standar dengan mutu yang tinggi di masyarakat kampus maupun lembaga riset yang menangani isunya. 
 
"Bahkan buku buku pelajaran sekolah dan kebijakan politik negara kelak perlu merujuk dari hasil-hasil riset dan pekerjaan ilmiah yang menggunakan standar yang diakui itu," ungkapnya.
 
Baca: Peneliti LIPI: Upaya Pelurusan Sejarah G30S Tertutup Isu Kebangkitan PKI
 
Soal Gerakan 30 September, kata dia, menjadi bagian dari perkembangan narasi dalam kehidupan publik dan politik. Kontroversi tentang sebuah isu tertentu diyakini akan bisa merangsang partisipasi dan keterlibatan publik yang lebih luas, dan mendorong kedewasaan.
 
"Saya melihat asumsi ini mungkin benar tapi jika perkembangan narasi itu terjadi tidak dengan cara rekayasa, termasuk mobilisasi pendukung dengan menggunakan kekuatan uang atau kekuasaan, termasuk ancaman pemaksaan terhadap posisi atau pendapat yang berbeda," ujarnya.
 
 

Sementara itu, menurut dia, Hari Kesaktian Pancasila yang diperingati setiap 1 Oktober tidak ada hubungannya dengan Pancasila. Pemakaian Pancasila dalam peristiwa pembunuhan para jenderal dan merupakan titik hitam dalam sejarah, justru menunjukkan bagaimana penguasa telah menyalahgunakan Pancasila demi kekuasaan. 
 
Peristiwa pembunuhan para jenderal dan kejadiannya sesudahnya dengan ribuan nyawa anak bangsa Indonesia terbunuh oleh sesama bangsa sendiri, tanpa melalui prosedur hukum dan pengadilan dianggap jelas menunjukkan bagaimana sekelompok orang menggunakan Pancasila demi tujuan politiknya.  
 
"Akhirnya hanya mewariskan dendam kesumat dan permusuhan yang berlarut larut di kalangan generasi penerus," imbuhnya.
 
Baca: Pakar UGM Usulkan Sensor Adegan Penyiksaan di Film G30S/PKI
 
Ia juga menyoroti isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang diduga kerap dihembuskan kelompok tertentu. Menurut dia, isu kebangkitan PKI tak lebih dari sekadar kepentingan politik.
 
"Kepentingan politik jelas. Mengawetkan memori termasuk ketakutan adalah dalam rangka menjaga hegemoni dan karena itu peluang untuk bisa  mengontrol perilaku," paparnya.
 
Menurut dia, sudah saatnya para akademisi turun tangan menangani berbagai isu kontroversial ini berdasarkan hasil riset yang mendalam. Meskipun, riset tersebut menurutnya cukup berisiko bagi akademisi, sejarawan maupun pemerintah yang berkuasa. 
 
"Itu tugas akademisi yang penting. Semua pekerjaan berisiko. Namun, standar dan cara bekerja yang profesional dengan mutu yang tinggi harusnya selalu dipegang oleh setiap akademisi termasuk akademisi di bidang sejarah yang menangani isu-isu kontroversial seperti sejarah kelam di republik kita ini," ungkapnya.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AGA)
  • Halaman :
  • 1
  • 2
Read All




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan