Sementara itu, menurut dia, Hari Kesaktian Pancasila yang diperingati setiap 1 Oktober tidak ada hubungannya dengan Pancasila. Pemakaian Pancasila dalam peristiwa pembunuhan para jenderal dan merupakan titik hitam dalam sejarah, justru menunjukkan bagaimana penguasa telah menyalahgunakan Pancasila demi kekuasaan.
Peristiwa pembunuhan para jenderal dan kejadiannya sesudahnya dengan ribuan nyawa anak bangsa Indonesia terbunuh oleh sesama bangsa sendiri, tanpa melalui prosedur hukum dan pengadilan dianggap jelas menunjukkan bagaimana sekelompok orang menggunakan Pancasila demi tujuan politiknya.
"Akhirnya hanya mewariskan dendam kesumat dan permusuhan yang berlarut larut di kalangan generasi penerus," imbuhnya.
Baca: Pakar UGM Usulkan Sensor Adegan Penyiksaan di Film G30S/PKI
Ia juga menyoroti isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang diduga kerap dihembuskan kelompok tertentu. Menurut dia, isu kebangkitan PKI tak lebih dari sekadar kepentingan politik.
"Kepentingan politik jelas. Mengawetkan memori termasuk ketakutan adalah dalam rangka menjaga hegemoni dan karena itu peluang untuk bisa mengontrol perilaku," paparnya.
Menurut dia, sudah saatnya para akademisi turun tangan menangani berbagai isu kontroversial ini berdasarkan hasil riset yang mendalam. Meskipun, riset tersebut menurutnya cukup berisiko bagi akademisi, sejarawan maupun pemerintah yang berkuasa.
"Itu tugas akademisi yang penting. Semua pekerjaan berisiko. Namun, standar dan cara bekerja yang profesional dengan mutu yang tinggi harusnya selalu dipegang oleh setiap akademisi termasuk akademisi di bidang sejarah yang menangani isu-isu kontroversial seperti sejarah kelam di republik kita ini," ungkapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News