"Masalah terbesar adalah kualitas dan distribusi guru. Tapi sepertinya tidak mau disentuh oleh Kemendikbud. Lebih suka bagi-bagi duit programnya," terang Indra kepada Medcom.id, Rabu, 25 November 2020.
Pun saat Nadiem membuka peluang bagi guru honorer menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) dengan satu juta formasi, bukan berarti masalah dapat selesai. Menurutnya hal itu hanya merubah status guru dan tak menjamin peningkatan kualitas dan memenuhi kebutuhan guru.
"Itu status bukan distribusi. Dan ini kan suda diputuskan beberapa tahun lalu bukan hal yang baru," sambungnya.
Menurutnya, hal yang paling dibutuhkan saat ini adalah guru yang paham tantangan revolusi industri 4.0. Dimana harus ada jaminan jika guru dapat mengajar secara kreatif dan inovatif. "Agar hadir pula anak kreatif dan inovatif. Bukan dicekoki pelajaran saja," ujarnya.
Baca: Kemendikbud: Indeks Aktivitas Membaca di Indonesia Masih Rendah
Terlebih di masa pandemi ini, menurutnya Kemendikbud harus lebih matang dalam membuat kebijakan. Sebab, guru sifatnya hanya mengikuti regulasi.
"Kalau kebijakan politis ya akan dipolitisasi terus. Yang kita harapkan ini pendidikan yang jadi lebih modern, peningkatan kualitas dan kapasitas gutu itu harusnya program utama," terang dia.
Apalagi saat ini mutu pendidikan Indonesia berjalan statis sejak 20 tahun lalu dan bahkan menurun. Dia menyebut pendidikan Indonesia saat ini setara dengan Uganda.
"Langkahnya buat peta jalan pendidikan. Yang sekarang peta jalannya ruwet. Bagaimana mau diapresiasi kalau arahnya kita tidak tahu, semua kebijakan tidak ada naskah akademiknya, masa berdasarkan imajinasi kita sendiri-sendiri?," ungkap dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News