"Frasa 'tanpa persetujuan korban' dalam Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, bertentangan dengan nilai syariat, Pancasila, UUD NRI 1945, peraturan perundangan-undangan lainnya, dan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia," demikian keterangan pers Komisi Fatwa MUI, dikutip Jumat, 12 November 2021.
Baca: Pakar UIN Jakarta Usul Permendikbudristek 30/2021 Direvisi, Khususnya Pasal Ini
MUI mengapresiasi niat baik dari Mendikbudristek Nadiem Makarim untuk melakukan upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Namun Permendikbudristek tersebut telah menimbulkan kontroversi, karena prosedur pembentukan peraturan dimaksud tidak sesuai dengan ketentuan UU Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana diubah UU No. 15 Tahun 2019.
"Dan materi muatannya bertentangan dengan syariat, Pancasila, UUD NRI 1945, Peraturan Perundangan-Undangan lainnya, dan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia," ungkap MUI.
MUI menilai ketentuan lain terkait dengan korban anak, disabilitas, situasi yang mengancam korban, di bawah pengaruh obat-obatan, harus diterapkan pemberatan hukuman.
MUI meminta pemerintah mencabut atau setidaknya Permendikbudristek tersebut. Perubahan diminta mematuhi prosedur pembentukan peraturan sebagaimana ketentuan UU Nomor 12 Tahun 2011 yang telah diubah dengan UU Nomor 15 Tahun 2019. Materi muatannya wajib sejalan dengan syariat, Pancasila, UUD NRI 1945, Peraturan Perundangan-Undangan lainnya, dan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia.
Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang PPKS menuai kontroversi. Khususnya, beleid Pasal 5. Berikut ini isi pasal yang menuai kontroversi tersebut:
(1) Kekerasan Seksual mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi.
(2) Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender korban;
b. Memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan korban;
c. Menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada korban;
d. Menatap korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman;
e. Mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada korban meskipun sudah dilarang korban;
f. Mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban;
g. Mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban;
h. Menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban;
i. Mengintip atau dengan sengaja melihat korban yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi dan/atau pada ruang yang bersifat pribadi;
j. Membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh korban;
k. Memberi hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual;
l. Menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan korban;
m. Membuka pakaian korban tanpa persetujuan korban;
n. Memaksa korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual;
o. Mempraktikkan budaya komunitas mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan yang bernuansa kekerasan seksual;
p. Melakukan percobaan perkosaan, namun penetrasi tidak terjadi;
q. Melakukan perkosaan termasuk penetrasi dengan benda atau bagian tubuh selain alat kelamin;
r. Memaksa atau memperdayai korban untuk melakukan aborsi;
s. Memaksa atau memperdayai korban untuk hamil;
t. Membiarkan terjadinya kekerasan seksual dengan sengaja; dan/atau
u. Melakukan perbuatan kekerasan seksual lainnya.
(3) Persetujuan korban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf f, huruf g, huruf h, huruf l, dan huruf m, dianggap tidak sah dalam hal korban:
a. Memiliki usia belum dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. Mengalami situasi dimana pelaku mengancam, memaksa, dan/atau menyalahgunakan kedudukannya;
c. Mengalami kondisi di bawah pengaruh obat-obatan, alkohol, dan/atau narkoba;
d. Mengalami sakit, tidak sadar, atau tertidur;
e. Memiliki kondisi fisik dan/atau psikologis yang rentan;
f. Mengalami kelumpuhan sementara (tonic immobility); dan/atau
g. Mengalami kondisi terguncang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News