Tholabi mencontohkan definsi kekerasan seksual yang tertuang di Pasal 5 ayat (2) huruf b, f, g, h, l, m. Menurut dia, beleid itu secara terang-terangan menginstrodusir tentang konsep concent atau voluntary agreement, persetujuan aktivitas seks yang tidak dipaksakan.
"Dalam konteks norma yang dimaksud adalah larangan melakukan perbuatan seks tanpa persetujuan korban," papar Tholabi dalam keterangannya, Rabu, 10 November 2021.
Norma berikutnya, beber Tholabi, yakni di Pasal 5 ayat (3) membuat kategorisasi tidak legalnya persetujuan aktivitas seks sebagaimana disebutkan di Pasal 5 ayat (2) bila korban dalam keadaan belum dewasa, di bawah tekanan, di bawah pengaruh obat-obatan, tidak sadar, kondisi fisik/psikologis yang rentan, lumpuh sementara, atau mengalami kondisi terguncang.
"Konsepsi concent diadopsi penuh dalam beleid ini. Di sini letak krusialnya," sebut Tholabi.
Baca: Akademisi Minta Kemendikbudristek Gercep Cabut Permendikbudristek PPKS
Ia mengatakan, perdebatan serupa pernah terjadi saat pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang juga mengakomodasi konsep concent terkait dengan aktivitas seks. Meskipun, dalam draf RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang terbaru, norma tentang consent ini makin berkurang jauh dibanding saat draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).
"Permendikbudristek Nomor 30 tahun 2021 ini seperti memutar kaset lama, ruang publik kembali gaduh. Ini yang menjadi kontraproduktif," ungkap Tholabi.
Tholabi menjelaskan, konsep consent dalam kaitan hubungan seksual, sejatinya tidak dikenal dalam khazanah hukum di Indonesia. Konsepsi persetujuan lebih pada konteks relasi antara pasien dan tenaga kesehatan dalam melakukan tindakan atau terkait dengan hubungan keperdataan antarindividu.
"Mengakomodasi konsep consent dalam urusan hubungan seks, itu bertolak belakang dengan kaidah agama, kesusilaan, dan kaidah hukum yang dituangkan antara lain melalui UU Perkawinan," terang Tholabi.
Tholabi pun mengusulkan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 dievaluasi dan menyesuaikan ketentuan yang menjadi pemicu polemik di publik. Upaya ini perlu dilakukan agar substansi yang ingin dicapai dari Permendikbudristek ini tidak menjadi bias dan misleading.
"Saran saya sebaiknya segera dievaluasi dan diperbaiki. Aspirasi yang muncul di publik harus direspons dengan baik. Aturan yang baik dalam proses pembentukannya tentu harus melibatkan partisipasi publik yang sebanyak-banyaknya, sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan," ujar Tholabi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News