Diskusi Akademik bertajuk 'BBM dan kenaikan harga BBM bersubsdi, antara beban APBN, ketersediaan dan keberlanjutan'. DOK UGM
Diskusi Akademik bertajuk 'BBM dan kenaikan harga BBM bersubsdi, antara beban APBN, ketersediaan dan keberlanjutan'. DOK UGM

Peneliti UGM Kritisi Alasan Kenaikan Harga BBM Bersubsidi karena Beban Anggaran

Renatha Swasty • 23 September 2022 14:52
Jakarta: Kenaikan harga BBM bersubsidi direspons dengan gelombang protes cukup luas oleh masyarakat. Alasan pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi karena harga minyak dan gas dunia mengalami kenaikan akibat konflik Ukraina-Rusia. 
 
Kelangkaan dan kenaikan harga minyak global menjadi dilema cukup berat yang harus direspons pemerintah. Apalagi, sejak 2002 Indonesia sudah menjadi Net Importir Minyak Dunia. 
 
Oleh karena itu, sudah selayaknya negara berpikir keras tentang transisi energi menuju Energi Baru Terbarukan (EBT) agar ketergantungan masyarakat terhadap konsumsi energi fosil dapat dialihkan. Meski begitu, pemerintah juga perlu berpikir keras untuk mempersiapkan kecukupan dan ketersediaan kuota BBM bersubsidi hingga akhir tahun ini.

Dekan Fisipol UGM, Wawan Mas'udi, mengatakan ketersediaan energi merupakan bagian dari pelayanan yang diberikan negara selain pangan. Menurutnya, energi menjadi barang publik paling esensial. 
 
Wawan menyebut negara bertanggung jawab atas ketersediaan energi tersebut agar bisa diakses oleh masyarakat. “Negara bertanggung jawab atas ketersediaan energi, harus cukup, terjangkau dan dapat diakses,” kata Wawan dalam Diskusi Akademik bertajuk 'BBM dan kenaikan harga BBM bersubsdi, antara beban APBN, ketersediaan dan keberlanjutan' dikutip dari laman ugm.ac.id, Jumat, 23 September 2022.  
 
Dia menyebut kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi perlu dievaluasi. Sebab, menaikkan harga BBM bersubsidi sebaiknya bukan lagi dari alasan beban anggaran.
 
”Perlu evaluasi komprehensif soal tata kelola. Selama ini, pengambilan kebijakan didominasi pada rezim keuangan. Jika masalah pada subsidi tidak tepat sasaran bukan dihilangkan, namun perlu tata kelola yang baik,” tegas dia.
 
Wawan menilai kenaikan harga BBM bukan persoalan besarnya beban anggaran subsidi. Namun, harus dilihat dari perspektif tanggung jawab negara untuk memastikan ketersediaan dan akses pada energi tersebut. 
 
“Jangan sampai jika tidak tersedia dan tidak bisa diakses. Karenanya perlu dirancang transisi energi pada energi baru dan terbarukan. Menggantungkan pada energi fosil adalah pemikiran lampau. Saya kira kebijakan transisi energi sangat penting,” kata dia.
 
Peneliti Pusat Studi Energi (PSE) UGM, Agung Satrio Nugroho, memaparkan pendistribusian BBM bersubsidi kemungkinan bisa tidak tepat sasaran di mana seharusnya hanya dinikmati kelompok masyarakat kecil. Hasil riset PSE UGM menunjukkan 7.000 lebih kecamatan di Indonesia sekitar 42 persen saja yang sudah memiliki penyalur distribusi resmi BBM bersubsidi atau SPBU.
 
”Artinya aksesibilitas fasilitas ketersediaan BBM itu belum separuh lebih,” kata dia .
 
Anggota peneliti PSE UGM lainnya, Yudistira Hendra Permana, mengatakan anggaran subsidi BBM sebenarnya sudah mulai berkurang sejak 2015. Lalu, pada 2017 pertalite diperkenalkan dan premium mulai dihilangkan. 
 
Sayangnya, harga pertalite tidak banyak berubah. Setelah premium dihapuskan, masyarakat beralih ke pertalite karena harga yang lebih murah dibandingkan dengan BBM non subsidi lainnya. 
 
“Dari kebutuhan sebelumnya hanya 1 juta kiloliter per bulan dan saat ini mencapai 2,5 juta kiloliter per bulan. Tampaknya kuota nasional BBM bersubsidi harus dinaikkan dan ditambah agar bisa diakses hingga akhir tahun,” kata dia. 
 
Peneliti PSE, Saiqa Ilham Akbar, menyampaikan kuota BBM yang terbatas sekarang ini hanya pada pasokan kuota BBM bersubsidi yang akan habis pada pertengahan Oktober. Namun, bukan berarti produk BBM lainnya tidak ada. 
 
“Jika tidak ada pertalite maka masyarakat akan mengakses BBM non bersubsidi. Karena kilang minyak kita tetap berjalan memproduksi BBM,” kata dia.
 
Peneliti Pusat Studi Perdagangan Dunia UGM Raras Cahyafitri menuturkan kenaikan harga BBM bersubsidi berdampak bagi masyarakat kecil dengan kenaikan harga kebutuhan pokok. Pemerintah telah memberikan bantuan kompensasi dari kenaikan harga BBM. 
 
Dia menyebut kebijakan subsidi BBM sudah ada sejak era Orde Baru. Tapi, sebagai negara net importir minyak, kebijakan subsidi perlu dievaluasi kembali apakah perlu dipertahankan atau tidak di tengah adanya ketergantungan pada energi fosil dan pengembangan energi baru dan terbarukan yang masih belum optimal.
 
Baca juga:  

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan