Ilustrasi. Medcom.id
Ilustrasi. Medcom.id

Penanganan Kekerasan Seksual di Indonesia Terganjal Keterbatasan Regulasi

Arga sumantri • 13 Desember 2021 14:42
Jakarta: Komisioner Komnas Perempuan Tiasri Wiandani membeberkan terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam webinar HAM Internasional yang digelar Universitas Airlangga (Unair). Hingga sekarang, RUU yang sebelumnya bernama Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) ini tak kunjung disahkan DPR.
 
Tiasri menjelaskan, eradikasi kekerasan terhadap perempuan merupakan suatu tantangan besar. Ia menyebut, jumlah kekerasan terhadap perempuan dalam 12 tahun terakhir meningkat hingga 800 persen.
 
Menurut dia, perspektif hak perempuan masih minim implikasinya dalam kinerja lembaga negara dan aktor-aktor kunci masyarakat. Sekalipun, Indonesia telah meratifikasi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) sejak era Orde Baru. Hal ini diperburuk dengan menguatnya paham fundamentalisme dan konservatisme.

"Respons penganut paham ini dapat dilihat dari penolakan kerasnya terhadap RUU PKS dan Permendikbud PPKS kemarin," ujar Tiasri mengutip siaran pers Unair, Senin, 13 Desember 2021.
 
Tiasri mengatakan, mereka yang menolak regulasi ini menganggap bahwa peraturan tersebut akan melegalkan seks bebas. Padahal, kata dia, alasan itu justru jauh dari konteks.
 
"Enggak mungkin lah Menteri membuat peraturan dengan semangat legalisasi zina," ujar aktivis buruh itu.
 
Baca: Cegah Pelecehan Seksual Berulang, Unsri Bentuk Satgas Libatkan Mahasiswi
 
Ia mengatakan, kondisi penanganan kekerasan seksual di Indonesia masih dihalangi banyak keterbatasan hukum, serta budaya yang jarang berpihak terhadap korban. Misalnya, victim blaming oleh aparat penegak hukum, dan kekerasan seksual dianggap sebagai aib. 
 
Menurut dia, problematika seperti inilah yang ingin dijawab oleh RUU TPKS. Beberapa kemajuan yang dicatatkan dalam RUU TPKS, kata dia, adalah adanya pengaturan pidana khusus terkait kekerasan seksual. 
 
Perspektif korban sudah mulai diejawantahkan, melalui model pembuktian dan hak atas restitusi, serta pendampingan korban dan saksi. Tiasri juga menyinggung terkait dimasukkannya pencegahan dan partisipasi masyarakat terkait penghapusan kekerasan seksual.
 
Namun, menurut dia, RUU ini juga patut diberikan catatan kritis, mengingat merupakan produk perampingan dari RUU PKS. Elemen pencegahan kekerasan seksual dan penegasan perlindungan korban harus diperkuat lagi. 
 
"Model Kekerasan Berbasis Gender Siber (KBGS) juga harus mulai dirumuskan karena Komnas Perempuan sering menemui jenis KTP seperti itu," ungkapnya.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AGA)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan