1. Perspektif Regulasi
Menurut Koordinator Nasional P2G, Satriwan Salim, sebenarnya untuk sekolah sudah memiliki regulasi pencegahan dan penanggulangan kekerasan, termasuk perlindungan bagi siswa dan guru. Regulasi tersebut tertuang dalam Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Satuan Pendidikan.Permendikbud ini berisi aturan yang detail tentang langkah dan strategi yang wajib dilakukan sebagai upaya preventif sekaligus kuratif terhadap kekerasan di sekolah. Namun disayangkan, regulasi tersebut dinilai bak macan kertas dalam mencegah dan menangani tindak kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan.
Regulasi tersebut sejatinya telah menjelaskan langkah dan strategi yang wajib dilakukan satuan pendidikan sebagai upaya preventif sekaligus kuratif terhadap tindak kekerasan di sekolah. "Namun dalam implementasinya, banyak guru, orang tua, siswa, pengawas sekolah termasuk Dinas Pendidikan yang tidak memahami dan mengetahui aturan tersebut," kata Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Satriwan Salim, dalam keterangannya kepada Medcom.id, Jumat 15 Juli 2022.
Sehingga, kata Satriwan, aturan tersebut sangat lemah dalam tataran implementasi. "Sayang, Permendikbud Nomor 82/2015 ini hanya menjadi macan kertas implementasinya di lapangan," kata Satriwan.
Indikatornya, sangat jarang sekolah yang memiliki Gugus Tugas Pencegahan Kekerasan. Padahal gugus tugas merupakan perintah tertuang dalam Pasal 8 huruf H, yang menyebutkan sekolah wajib membentuk tim pencegahan tindak kekerasan.
Tim itu terdiri dari kepala sekolah, perwakilan guru, perwakilan siswa, dan perwakilan orang tua/wali. Bahkan di sekolah mesti dipasang papan layanan pengaduan kekerasan.
"Setiap sekolah wajib memasang papan layanan pengaduan tindak kekerasan pada serambi satuan pendidikan yang mudah diakses masyarakat dalam pasal 8 huruf I," jelasnya.
Namun yang terjadi malah sebaliknya. Bukan memasang papan layanan pengaduan, manajemen sekolah berupaya sekuat tenaga merahasiakan.
"Hal ini dirahasiakan agar tak tercium sampai ke luar, demi nama baik institusi," ujar Satriwan.
2. Perspektif Profesi
Guru merupakan profesi diatur UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Begitu pula UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.Empat syarat kompetensi guru: a) pedagogik, kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik; b) kepribadian, kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik; c) profesional, kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam; dan d) sosial, kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.
"Guru atau pendidik yang menggunakan instrumen kekerasan dalam berinteraksi dengan siswa, jelas tak profesional, tuna kompetensi pedagogis, kepribadian, dan sosial," kata Iman Zanatul Haeri, Kepala Bidang Advokasi P2G.
Dia melanjutkan kepala sekolah dan guru berperan sentral menumbuhkembangkan disiplin positif sebagai upaya pemberian konsekuensi yang mendidik kepada siswa tanpa teriakan, kekerasan, dan hukuman. Membangun kesadaran tentang kepercayaan (trust), komitmen, dan tanggungjawab, bukan ketakutan.
Menurut Iman, guru mestinya lebih memusatkan perhatian pada kegiatan belajar-mengajar ketimbang menghukum, serta saling menghormati dan bekerja dengan anak-anak, bukan melawan mereka. "Ringkasnya, mendisiplinkan siswa tanpa hukuman kekerasan," ujar guru mata pelajaran Sejarah ini.
3. Perspektif Pendidikan Demokrasi
Sekolah menjadi laboratorium untuk mengenali, memahami, dan mengaktualisasikan nilai-nilai demokrasi Pancasila bagi siswa. Desain pembelajaran demokratis menitikberatkan pada terbukanya partisipasi, membangun otonomi, pengakuan kesetaraan, memegang komitmen, bernalar kritis, dan menghargai keragaman (inklusif) termasuk perbedaan pendapat."Kekerasan terjadi karena minim atau mandeknya ruang partisipasi dan absennya kesetaraan dalam pembelajaran, sehingga yang terbangun relasi kuasa," kata Kepala Bidang Litbang Guru P2G, Agus Setiawan.
Agus menjelaskan, adapun keterlibatan siswa dikendalikan sedemikian rupa, alih-alih mengatur, yang terjadi malah pembatasan dengan seperangkat larangan-larangan. Siswa berada dalam posisi inferior sedangkan guru superior.
Hal ini, kata Agus, juga banyak terjadi di satuan pendidikan berbasis agama. Menurut Agus, guru menyalahgunakan doktrin agama bagi santri atau siswa mengenai “kewajiban menghormati guru dan keluarganya”.
"Sehingga dengan iming-iming pahala atau ancaman dosa, guru bertindak semaunya kepada siswa, padahal oknum guru tersebut telah menyimpangkan doktrin tersebut," demikian terang guru mata pelajaran Pendidikan Agama Islam ini.
Kondisi demikian makin subur, sebab metode pembelajaran terpusat pada guru, siswa menjadi objek bukan subjek.
4. Perspektif Ekosistem dan Budaya Sekolah
Sekolah merupakan arena perjumpaan. Titik temu semua unsur perbedaan, menuju persatuan dalam kemajemukan, sehingga terbentuk perasaan saling memiliki satu sama lain.Guru hendaknya menciptakan suasana pembelajaran yang mengundang (an invitational learning environment). Suatu praktik pembelajaran yang membangun hasrat, keterlibatan, dan keterikatan.
Lingkungan belajar diciptakan untuk mempromosikan pengajaran dan pembelajaran berkualitas. Siswa didorong secara positif atau "diundang" oleh guru ke dalam pengalaman pendidikan. Sejatinya semua orang adalah guru dan semua tempat adalah taman belajar (sekolah).
Sebuah taman takdirnya ditumbuhi bunga dan tumbuhan aneka warna, ruang bermain nan semerbak, dan jangan sekali-kali merusak tanaman apalagi sedang bermekaran. Begitu pula hendaknya lingkungan sekolah, menjadi tempat aman, sehat, dan nyaman bagi tumbuh kembang anak sesuai kodratnya.
Agus meminta, sekolah, madsrasah, pesantren, seminari dan satuan pendidikan lainnya tidak lagi melarang siswa menggunakan gawai pintar (HP) di sekolah atau asrama seperti yang umumnya masih terjadi sekarang. Sebab HP sudah menjadi kebutuhan dalam pembelajaran serta media berkomunikasi antara anak dan orang tua secara intens khususnya bagi satuan pendidikan sistem berasrama.
Jadi ketika terjadi indikasi kekerasan di satuan pendidikan, anak bisa langsung melaporkan kejadian tersebut kepada orang tua, sehingga terjadi pengawasan timbal balik.
"Semua satuan pendidikan seharusnya diwajibkan memasang kamera CCTV sebagai alat pengawasan dan bukti jika terjadi kekerasan," tutup Agus.
Baca juga: Kasus Sekolah SPI, Psikolog: Peran Guru Mendidik, Bukan Predator |
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News