Gunung Ijen. DOK ITB
Gunung Ijen. DOK ITB

Dosen ITB Ungkap Indahnya Gunung Ijen yang Menyimpan Bahaya

Renatha Swasty • 27 Juli 2023 18:02
Jakarta: Gunung Ijen merupakan salah satu gunung indah yang dimiliki oleh Indonesia. Namun, tahukah kalian, di balik keindahannya itu Gunung Ijen juga menyimpan bahaya lho Sobat Medcom.
 
Mengapa begitu? Yuk simak penjelasannya dari Kepala Prodi Magister Institut Teknologi Bandung (ITB), Mirzam Abdurrachman.
 
Dia menjelaskan secara evolusi tektonik di Asia Tenggara, Gunung Ijen diperkirakan sudah terbentuk di 30-35 juta tahun lalu. Secara tatanan tektonik Indonesia, posisi Gunung Ijen berada di transisi peralihan antara Indonesia bagian Barat dan Timur.

Posisi ini berpengaruh terhadap bentuk gunung merapi. Bagian dasar kerak Ijen disebut argoland yang berasal dari pecahan Australia yang bergerak ke utara mulai umur geologi Jura Akhir (165 Juta tahun lalu) hingga menumpuk di bagian ujung tenggara Sundaland pada umur geologi Miosen Tengah (15 Juta tahun lalu).
 
"Secara geologi, Gunung Ijen bisa dikatakan berada di Indonesia dan Australia," ujar Mirzam dalam Geoseminar mengusung topik Situs Warisan Geologi dan Aspek Vulkanisme dan Geohazard pada Geopark Ijen dikutip dari laman itb.ac.id, Kamis, 27 Juli 2023.
 
Dia memaparkan Gunung Ijen berada di busur Sunda. Gunung ini memiliki ketinggian 3.500 masl dengan volume kaldera terbesar setelah Gunung Toba.
 
Abu vulkaniknya berwarna abu-abu kegelapan dan tergolong letusan eksplosif. Ketika letusan besar terjadi, abu tidak terlempar jauh melainkan jatuh dan menumpuk pada lereng. Hal ini menyebabkan sering terjadi lahar ketika turun hujan.
 
Mirzam menyebut seperti gunung aktif lainnya, bencana Gunung Ijen juga mengintai. Dia memaparkan bencana gunung api dibedakan menjadi dua, yakni bahaya primer dan sekunder.
 
Bahaya primer merupakan risiko yang berkaitan langsung pada letusan gunung api, meliputi aliran lava, aliran piroklastik, ejecta ballistic, abu vulkanik, dan gas beracun.
 
Bahaya sekunder merupakan bahaya yang tidak berkaitan langsung dengan gunung api. Ini meliputi lahar, banjir, gempa bumi, tsunami, hujan asam, debris avalanche, perubahan iklim, polusi udara, dan gas beracun.
 
Beberapa usaha yang telah dilakukan menangani bencana gunung api adalah meletakan papan pengumuman. Mirzam menyebut usaha tersebut baik untuk dilakukan, namun masih belum cukup.
 
Selain itu, mayoritas masyarakat sering mengabaikan risiko bencana dan masih mempertahankan budaya lokal yang percaya kepada Kuncen atau Juru Kunci Gunung Api. Adapun cara mengantisipasi bencana gunung api dibedakan menjadi dua pendekatan, yakni jangka pendek dan jangka panjang.
 
Jangka pendek meliputi pengamatan seimisitas, temperatur, jenis gas, dan hidrologi. Sedangkan, jangka panjang meliputi mengamati pola hubungan antara interval waktu dengan volume yang dikeluarkan.
 
Mirzam menyebut kesiapan lainnya yang perlu dilakukan, yakni memperkuat sosialisasi dari lembaga Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dengan melibatkan masyarakat sebagai subjek yang bisa membaca informasi dan tanda alam. Sehingga, edukasi kepada setiap lapisan masyarakat sangat dibutuhkan terkait bahaya bencana alam khususnya gunung api.
 
Dia mengingatkan ancaman yang ditimbulkan oleh alam selalu nyata adanya. Namun, kita tidak tahu apakah setelah terjadi bencana alam masih menyimpan risiko lain untuk waktu mendatang atau tidak.
 
“Hal yang terpenting adalah kesiapan dari masyarakat. Siap menghadapi bencana mendatang dengan perkuat pengetahuan terkait kebencanaan. Coba sekarang kita ubah posisi dari dari yang awalnya sebagai objek penerima informasi menjadi subjek pemberi informasi," tutur dia.
 
Baca juga: Guru Besar ITB Ungkap Perjalanan Panjang Moluska dalam Sejarah Bumi

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan