Teranyar, wacana penundaan Pemilu 2024 yang diusulkan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Menurut Sobat Medcom, apakah usulan tersebut bakal terealisasi?
Perubahan atas sejumlah hal terkait pemilu sejatinya bukan hal baru. Sejak era Orde Lama hingga Reformasi, tercatat kontestasi politik telah mengalami sederet perubahan. Salah satunya, sistem yang diterapkan.
Lantas, seperti apa sejarah dan perkembangan sistem pemilu di Indonesia? Melansir laman Zenius, berikut ulasannya:
Pemilu di Era Orde Lama
Meskipun presiden pertama Indonesia dilantik pada 1945, ternyata pemilu baru dilangsungkan sepuluh tahun setelahnya. Pada 1955, pemilu digelar dua kali, yakni 29 September untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan 25 Desember untuk memilih anggota Konstituante.Konstituante merupakan lembaga yang bertugas menyusun undang-undang, sedangkan DPR lebih berfokus menjalankan fungsi parlementer. Kala itu, partai politik lebih banyak mengirim kader-kader unggulan ke Konstituante ketimbang DPR.
Kedua lembaga ini lantas dibubarkan dan diganti dengan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) usai Presiden Soekarno menerbitkan Dekrit Presiden pada 1959. Berkat beleid itu pula, ketua DPR, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Badan Pengurus Keuangan (BPK), dan Mahkamah Agung (MA) diangkat menjadi menteri.
Dengan kata lain, pemilu di era Orde Baru tidak memilih presiden dan wakil, melainkan hanya memilih anggota lembaga legislatif. Alih-alih dipilih rakyat, Presiden Soekarno ditunjuk langsung oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Pemilu di Era Orde Baru
Sama halnya dengan Orde Lama, pemilu di era Orde Baru tidak memilih presiden. Kepala negara, yang saat itu adalah Soeharto, dipilih langsung oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).Pemilihan untuk anggota lembaga legislatif baru kembali dilakukan pada 1971. Kontestasi politik itu hanya diikuti tiga partai, yakni Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Persatuan dan Pembangunan (PPP), serta Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Hal ini mengindikasikan era Orde Baru meredam persaingan, bahkan mengubur pluralisme politik.
Pemilu di era Orde Lama dan Orde Baru memiliki persamaan, yaitu sama-sama menganut sistem proporsional tertutup. Sistem tersebut memberikan kesempatan kepada pemilih menentukan pilihan melalui partai politik saja.
Pada sistem proposional tertutup, partai politik menentukan sendiri calon legislatif. Dengan demikian, hal tersebut dapat memudahkan partai melakukan pemenuhan kuota untuk wakil perempuan atau kelompok etnis minoritas tertentu.
Di sisi lain, sistem ini membuat pemilih seolah tidak memiliki kontribusi besar dalam memilih wakil rakyat secara langsung.
Pemilu di Era Reformasi
Pada awal masa Reformasi atau lebih tepatnya 1999, presiden masih dipilih oleh MPR. Namun, pemilu di era ini mengembalikan pluralisme politik, dari semula hanya diikuti tiga partai menjadi 48 partai.Barulah pada 2004, presiden dipilih langsung oleh rakyat. Hal ini sesuai amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Perubahan ini juga melahirkan lembaga baru, yaitu Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Sejak saat itu pula, sistem pemilu yang dianut Indonesia turut berubah. Dari sebelumnya sistem proposional tertutup, kini menjadi sistem proposional terbuka. Melalui sistem yang dianggap lebih demokratis ini, pemilih dapat menentukan pilihan dengan lebih leluasa.
Sistem proposional terbuka menghapus kesenjangan antara pemilih dan calon kandidat yang berkontestasi dalam pemilu. Dengan begitu, pemilih jadi memiliki peranan lebih besar untuk menentukan sendiri wakil rakyatnya.
Di sisi lain, sistem ini bisa memicu terjadinya politik uang. Selain itu, perhitungan hasil suara juga menjadi lebih rumit.
Demikianlah sejarah dan perkembangan pemilu di Indonesia, mulai dari era Orde Lama hingga saat ini. (Nurisma Rahmatika)
Baca: Pengamat Politik UGM: Menunda Pemilu Kemunduran Demokrasi
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News