Pemuda asal Nusa Tenggara Timur (NTT) yang lahir di Sabah, Malaysia itu sejak kecil hingga remaja berpindah tempat tinggal. Dia tumbuh besar di Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan.
Meski begitu, ia mengaku memiliki pengalaman unik lantaran mengenal budaya dan karakter masyarakat yang berbeda di masing-masing tempat. Setelah menamatkan pendidikan dasar dan menengah pertama di Sekolah Indonesia Kota Kinabalu (SIKK), Malaysia, ia kemudian pulang ke Tanah Air.
Dia melanjutkan pendidikan menengah atas di SMKN 2 Simpang Empat, Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Fendi sempat merasa seperti orang asing di negeri sendiri.
“Bahkan imigrasi sempat mendatangi (keluarga) kami karena ada laporan bahwa kemungkinan ada imigran gelap di sekitar,” cerita Fendi dikutip dari laman ugm.ac.id, Kamis, 6 Maret 2025.
Di tengah keterbatasan akses informasi tentang pendidikan tinggi, Fendi tetap gigih berusaha. Maklum, ayahnya lulusan SMP dan ibunya hampir lulus SD.
Beruntung, beberapa gurunya di SMK merupakan lulusan perguruan tinggi di Yogyakarta. Hal itu memberinya inspirasi mengejar pendidikan.
Setelah mencari berbagai sumber informasi, ia dengan mantap memilih Universitas Gadjah Mada sebagai tujuan pendidikan tinggi selanjutnya. “Bagai katak di bawah tempurung, saya hanya mendapatkan sedikit sekali informasi perihal jenjang kuliah saat itu di tempat saya,” ujar dia.
Tahun 2019 menjadi titik balik besar dalam hidup Fendi ketika ia diterima di Program Studi Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM melalui jalur afirmasi bagi anak-anak TKI. Jalur afirmasi ini membuka jalan bagi siswa-siswa dari latar belakang kurang beruntung mengenyam pendidikan di universitas negeri terkemuka seperti UGM.
Ia juga berhasil mendapatkan beasiswa Afirmasi Dikti (ADik) oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia. Meski begitu, berbagai tantangan dihadapi untuk beradaptasi di lingkungan baru di Yogyakarta.
Hal itu tidak membutuhkan waktu lama baginya untuk bisa merasa nyaman. Berkat dukungan teman-teman asrama, yang sebagian besar juga perantau, proses adaptasi berjalan lancar.
Rasa kebersamaan membantu Fendi merasa seperti di rumah, jauh dari tempat asalnya di Kalimantan Selatan. Suara gamelan yang sering berkumandang di lingkungan asrama Darmaputera Baciro juga menjadi salah satu kenangan awal yang membuatnya merasa betah.
“Pertanda yang baik, bukan?,” kata dia.
Di awal kuliah, ia fokus pada rutinitas akademik dan menjadi mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang kuliah pulang). Pada tahun 2022, Fendi mulai aktif dalam berbagai kegiatan kampus.
Salah satu pencapaian paling membanggakannya adalah ketika ia terpilih menjadi angkatan pertama yang mengikuti program pertukaran mahasiswa Kampus Merdeka ke Universitas Al-Washliyah, Medan. “Dengan segala kendala dan kondisi covid-19, Puji Tuhan saya bisa menyelesaikannya. Program ini membawa saya pada pengalaman baru yang memperkaya wawasan, baik akademik maupun non-akademik,” ujar dia.
Kegiatan lain yang juga membentuk karakter kepemimpinannya adalah Kuliah Kerja Nyata (KKN), yang mengajarkan pentingnya inisiatif memulai percakapan dengan orang-orang baru. Melalui KKN, ia bisa belajar membangun relasi sosial yang kuat, hal yang sangat penting untuk kesuksesan di masa depan.
Menyelesaikan skripsi juga menjadi salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Fendi. Dia sempat mengganti judul setelah seminar proposal di semester 6.
Fendi butuh dua tahun lebih untuk menyelesaikan skripsi. Dia butuh waktu cukup lama untuk menyadari takluk pada karakternya sendiri.
Ketika ia akhirnya berani membuka komunikasi dengan dosen pembimbing skripsinya, segalanya mulai berjalan lebih lancar. Hingga akhirnya di Semester 11, ia lulus dengan nilai B+ dan dengan judul skripsi ‘Teknik Penerjemahan Nomina Majemuk Bahasa Indonesia pada Artikel Berita Daring Antara News.’
“Saya percaya pentingnya peran dosen dalam proses ini. Diskusi, kritikan, masukan, dan deadline dari dosen pembimbing, itulah bensin yang paling lambat habisnya,” kata Fendi yang lulus dengan IPK 3,59 ini.
Setelah menyelesaikan pendidikan di UGM, Fendi merasa perjalanan panjang ini memberinya banyak pelajaran. Ia berpesan kepada mahasiswa lain yang masih berjuang menyelesaikan kuliah untuk tidak takut memulai menyelesaikan tugas akhir penulisan skripsi.
“Jangan lupa bangun komunikasi dengan teman yang sudah selesai, dengan dosen pembimbing, dan jangan takut untuk salah. Karena selalu ada ruang untuk memperbaiki, dan pada akhirnya semua ketakutan itu hanya ada di kepala,” pesan dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News