Tak sedikit di antara pekerja migran terkena persoalan kasus hukum dari status pekerja ilegal, korban perdagangan manusia, hingga risiko kasus perceraian di rumah tangganya. Hasil penelitian Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada (UGM) bekerja sama dengan lembaga Child Health and Parent Migration in Southeast Asia (CHAMPSEA) sejak tahun 2008 menunjukkan fenomena gangguan perkawinan atau marital disruption di kalangan rumah tangga migran Indonesia.
Peneliti PSKK, Sukamdi, menyampaikan menjadi migran diasumsikan dapat membantu keluar dari kemiskinan, meskipun kenyataannya tidak seperti itu. Remitan yang dihasilkan mampu membantu mereka bertahan di masa pandemi bahkan kondisi ekonomi mereka cenderung stabil. Namun, tidak sedikit pekerja migran mengalami ketidak harmonisan keluarga.
“Inilah dampak yang paling signifikan dirasakan rumah tangga pekerja migran Indonesia. Banyak terjadi kasus perceraian akibat mereka harus bekerja ke luar negeri menyebabkan mereka terpaksa berpisah dari keluarga sehingga keharmonisan sudah tidak terbangun,” kata Sukamandi dikutip dari laman ugm.ac.id, Kamis, 6 Maret 2025.
Anggota keluarga yang paling menjadi korban di sini adalah anak dari rumah tangga pekerja migran. Bahkan, kesehatan mental sering dialami oleh anak migran seperti emosional symptoms, perilaku anak cenderung nakal, dan hiperaktif.
"Dampaknya sangat berpengaruh pada kesehatan mental anak,” ujar dia.
Menurut data, pekerja migran yang terdata oleh pemerintah hanya sebagian kecil dari jumlah yang berangkat ke luar negeri. Mayoritas gender pekerja migran adalah perempuan.
Ditemukan banyak kasus pekerja yang berangkat ke luar negeri dengan dokumen tidak resmi atau ilegal. Fenomena ini juga disebabkan oleh majikan nakal yang membutuhkan tenaga akan tetapi tidak melalui jalur resmi.
“Oknum calon majikan menjanjikan untuk mengurus semua dokumen akan tetapi hal tersebut tidak juga terlaksana sehingga pekerja migran tersebut terpaksa menjadi imigran ilegal. Dengan skenario yang diatur sedemikian rupa sehingga kecurangan ini tidak terdeteksi dan dicurigai,” papar dia.
Peneliti CHAMSEA, Lucy Jordan, menuturkan pihaknya bersama PSKK UGM melakukan sebuah riset panjang mengenai migrasi internasional. Penelitian digelar di Ponorogo yang merupakan daerah dengan kantong imigran cukup besar.
Hasil penelitian mereka belum lama ini menunjukkan sudah banyak perubahan cara berpikir masyarakat tentang menjadi pekerja migran. “Banyak masyarakat yang sudah tidak menyarankan untuk pergi ke luar negeri untuk menyelesaikan himpitan kemiskinan. Perubahan itu terjadi, orang mengubah cara berpikirnya,” beber dia.
Dosen Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik, Fisipol UGM, Ely Susanto, mengungkapkan jumlah imigran yang keluar negeri untuk bekerja atau sekolah semakin bertambah. Sehingga, perlu perlindungan hukum yang mampu melindungi warga negara Indonesia di luar negeri.
“Jangan sampai mereka di nina bobokan dengan istilah pahlawan devisa,” tegas dia.
Berdasarkan data Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), pada Januari-Agustus 2024 terdapat 207.090 pekerja migran Indonesia (PMI) yang ditempatkan di berbagai negara. Sebanyak 108.477 orang bekerja di sektor informal, sedangkan 98.613 lainnya di sektor formal. Pekerja migran didominasi oleh perempuan sebanyak 141.627 dan laki-laki sebanyak 65.463 pekerja.
Kasus gangguan perkawinan di kalangan pekerja migran indonesia menjadi salah satu hal yang penting untuk diperhatikan. Pemerintah diharapkan mampu memberikan perlindungan tidak hanya untuk pekerja migran Indonesia, namun juga terhadap keluarga yang ditinggalkan terutama anak-anak di rumah tangga PMI. Jangan sampai yang awalnya bertujuan untuk menggapai kesejahteraan hidup malah membuat trauma mendalam bagi anak-anak yang ditinggalkan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News