Hal itu terungkap saat tim Gabungan yang dibentuk untuk menyelesaikan kasus tiga siswa penganut Saksi Yehuwa yang tidak naik kelas tiga tahun berturut-turut mengunjungi rumah dan sekolah ketiga anak tersebut. Kunjungan bertujuan untuk mendengarkan suara anak dalam kasus yang menimpa mereka selama tiga tahun berturut-turut serta fakta-fakta lainnya yang dapat membantu penyelesaian kasus tersebut.
Tim gabungan terdiri atas Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi ( Kemendikbudristek), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan unsur masyarakat sipil.
Kemudian tim melakukan wawancara dengan Dh selaku guru Pendidikan Agama Kristen yang diperbantukan di SDN 051 Tarakan karena penugasan sebenarnya di SDN 043 Tarakan. Di SDN 051, DH hanya mengajar empat siswa termasuk ketiga anak korban.
Tim juga mewawancarai D, guru PJOK yang juga menjadi Pembina Agama Kristen. Ketika tim bertanya pendapat Dh selalu guru ketiga anak korban, di jawab anak-anak itu pintar, bahkan nilai-nilai pengetahuan sering mendapat 100 (nilai sempurna). Selain itu ketiga anak korban juga berkelakuan baik dan sopan.
Hal senada juga dikemukan oleh ibu D selaku pembina agama Kristen. Nilai pendidikan agama anak korban tidak tuntas (pada rapor tidak naik kelas ke-3 kalinya), karena nilai praktik tidak ada (namun nilai kognitif/pengetahuan tinggi dan nilai afektif/sikap baik), lantaran ketiga siswa tersebut menolak bernyanyi lagu rohani yang judulnya ditentukan oleh guru pendidikan agama Kristen, alasannya bertentangan dengan akidahnya.
Ketika tim bertanya apa harapan atau keinginan ketiga anak, mereka menjawab “hanya ingin naik kelas”. "Saat ditanya apa lagi harapannya? Jawabannya kurang lebih sama, hanya ingin naik kelas. Ketiganya juga ingin tetap bersekolah di SDN 051 Kota Tarakan," kata Komisioner bidang pendidikan KPAI, Retno Listyarti dalam keterangan tertulisnya, Sabtu, 27 November 2021.
Ketiga anak mengaku khawatir akan kehilangan semangat belajar jika nanti akan mengalami tidak naik kelas lagi untuk keempat kalinya.
Menurut Retno, orang tua sempat meminta izin untuk anaknya diperkenankan menyanyikan lagu rohani yang sesuai akidahnya, namun tidak diperkenankan. Alasan penolakan guru adalah berpedoman pada kurikulum pendidikan agama Kristen, padahal Kompetensi dasar (KD) dalam kurikulum pendidikan agama Kristen justru tidak menentukan judul lagu rohani.
Baca juga: KPAI Kecewa Hasil Penyelesaian Kasus 3 Siswa Penganut Saksi Yehuwa di Tarakan
Misalnya Silabus mata pelajaran pendidikan agama Kristen kelas 4 SD, pada KD 4.6 berbunyi : “Menyanyikan lagu rohani anak-anak yang menunjukkan ucapan syukur atas dirinya, keluarga, teman, dan alam ciptaan Tuhan”.
"KD tersebut sama sekali tidak menentukan judul lagu rohani yang harus dinyanyikan oleh peserta didik," ungkap Retno.
Saat pengawasan di sekolah, ada beberapa usulan untuk solusi, di antaranya adalah usulan dari Jarwoko, Kepala LPMP Kalimantan Utara yang mengusulkan ketiga anak tetap diberikan pembelajaran agama dari guru agama Kristen. Namun hanya aspek kognitif/pengetahuan dan aspek afektif/sikap.
Sedangkan aspek Psikomotorik/Praktik/ketrampilan diserahkan kepada komunitas agama ketiga anak tersebut, agar tidak ada lagi perdebatan soal akidah. Selain itu, Kepala Dinas Pendidikan Kota Tarakan juga mengusulkan ketiga anak dinaikkan kelas, hanya untuk keputusan tidak naik kelas yang ke-3, dimana anak-anak akan mengikuti remedial terlebih dahulu untuk nilai yang tidak tuntas, yaitu nilai pendidikan agama saja, mengingat nilai mata pelajaran lain tuntas bahkan dengan nilai tinggi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News