Ilustrasi teroris. Medcom.id
Ilustrasi teroris. Medcom.id

Pendidikan Kritis dan Hargai Perbedaan Cegah Anak-anak Direkrut Kelompok Teroris

Renatha Swasty • 01 April 2022 09:24
Jakarta: Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sudah tak heran dengan perekrutan teroris pada anak-anak. Baru-baru ini Densus 88 Antiteror Polri mengungkap teroris jaringan Negara Islam Indonesia (NII) di Sumatra Barat (Sumbar) aktif merekrut anggota baru yang merupakan anak-anak.
 
Komisioner KPAI Retno Listyarti menyebut rekrutmen melibatkan anak-anak ialah modus lama. Teroris biasa masuk ke sekolah-sekolah umum, seperti SMA dan SMK.
 
“Dari beberapa kasus yang terjadi selama ini, yang disasar umumnya anak-anak yang memiliki masalah, misalnya kesulitan ekonomi, kesulitan belajar, kurang perhatian orang tua, ada masalah dengan keluarga, dan lain-lain," kata Retno dalam keterangan tertulis, Jumat, 1 April 2022.

Retno menyebut anak-anak yang direkrut juga biasanya pemahaman agamanya terbatas. Perekrut biasanya masuk melalui alumni, guru, dan lainnya.
 
”Sikap dan perilaku intoleran di kalangan anak-anak yang kemudian dipengaruhi atau dimasuki pikiran-pikiran intoleran, bahkan setuju kekerasan atas nama agama," tutur dia.
 
Retno menegaskan pendidikan memegang peran penting menanamkan karakter demokrasi, toleran, dan antikekerasan. Baik itu pendidikan di lingkungan keluarga maupun satuan pendidikan atau sekolah.   
 
Dia menyebut peran sekolah dan guru sangat penting membangun sekolah damai dan menanamkan karakter toleran. Adapun faktor penyebab anak-anak mudah dipengaruhi jaringan teroris, termasuk NII yakni:
  1. Pembelajaran di kelas tidak terbuka terhadap pergulatan pendapat dan cara pandang beragam. Sehingga ada kecenderungan mengarah pada penyeragaman dan pembelajaran tidak didesain menghargai perbedaan.
  2. Ada kecenderungan peserta didik dan pendidik terjebak pada intoleransi pasif. Yaitu perasaan dan sikap tidak menghargai perbedaan suku, agama, ras, kelas sosial, pandangan kegamaan, dan pandangan politik, walaupun belum berujung tindakan kekerasan. Namun, pada era digital ini dapat terlihat dari postingan di media sosial mereka.
  3. Sikap siswa terbuka terhadap praktik intoleransi mulai berkembang di kelas ketika diajar oleh pendidik yang membawa ideologi dan pandangan politik pribadi ke dalam kelas. Misalnya, kata Retno, kasus pemilihan Ketua OSIS di salah satu SMAN di kota Depok yang diulang karena ketua OSIS terpilih beragama minoritas.
  4. Selain itu, ada pendidik berinisial TS yang mengajak siswa di grup WhatsApp memilih ketua OSIS yang seagama. Bahkan, ada kepala sekolah jenjang SD di Lampung ditangkap Densus 88 pada November 2021 karena diduga terlibat dalam aksi terorisme Jaringan Jamaah Islamiah (JI).
  5. Masuknya bibit radikalisme ke sejumalah sekolah lantaran satuan pendidikan cenderung tidak memperhatikan khusus dan ketat perihal kegiatan kesiswaan, apalagi terkait keagamaan. Terutama yang melibatkan pemberi materi dari luar sekolah, seperti penceramah dalam salat Jumat di masjid sekolah dan pendampingan kajian agama rutin setiap minggu. Hal ini umumnya terhubung dengan alumni sehingga pihak sekolah percaya, apalagi tidak ada biaya untuk membayar mereka. “Seharusnya alumni dan pemateri yang diambil dari luar sekolah harus melalui screening oleh pembina atau guru agama dan kepala sekolah," ujar Retno.
Retno menyebut dalam beberapa kasus yang terjadi, pemikiran membahayakan kebhinekaan ini dapat masuk dari alumni melalui organisasi sekolah atau ekstrakurikuler, pemateri kegiatan kesiswaan yang bersifat rutin sepeti mentoring dan kajian terbatas. Namun, dia menyebut tidak semua alumni seperti itu dan banyak alumni justru membantu kebutuhan sekolah.
 
Retno memberikan sejumlah rekomendasi. Dia mendorong Kemendikbudristek membuat program pencegahan atas “Tiga Dosa Besar di Pendidikan”, yaitu perundungan, kekerasan seksual dan intoleransi.
 
Mulai dari membangun mindset pendidik dan kepala sekolah serta membuat kanal pengaduan yang ditindaklanjuti pengaduannya. Sampai mendesain pembelajaran dan kurikulum untuk menghargai perbedaan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM).
 
Kemudian, untuk kasus di Sumatra Barat, Retno meminta anak-anak yang terlibat dalam jaringan terorisme NII mendapatkan hak-haknya. Seperti pemulihan psikologi, pemenuhan hak atas pendidikan dan pendampingan reintegrasi ke masayarakat di lingkungan masyarakat, dan tempat tinggal anak-anak tersebut.
 
Baca: Begini Upaya Densus 88 Atasi Teroris di Sumbar Rekrut Anak-anak
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(REN)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan