“Pemilu itu alat mengontrol jalannya pemerintahan, baik di eksekutif maupun di legislatif. Artinya pemilu yang rutin itu merupakan fondasi bagi demokrasi elektoral yang kita punya, kalau fondasinya saja dipersoalkan maka perkembangan demokrasi kita jelas akan mengarah pada kemunduran," ujar Wawan dikutip dari laman ugm.ac.id, Selasa, 8 Maret 2022.
Wawan menyebut semua pihak mesti memahami pemilu dan pergantian kekuasaan yang bersifat rutin merupakan ukuran paling dasar sehingga tak boleh diganggu. Dia menyebut bila diganggu tentu akan membuat kemunduran.
Dia menyebut terbukti selama 20 tahun lebih berjalan pemilu berlangsung rutin. Masyarakat menaruh kepercayaan besar terhadap sistem yang dibangun.
“Meski harus diakui pula setiap kali pelaksanaan pemilu selalu ada konflik, tapi selalu bisa diatasi. Artinya ada proses pendewasaan politik yang berlangsung pada level masyarakat dan ini berarti pula perkembangan demokrasi di Indonesia sangat bagus," papar dia.
Wawan menuturkan dalam sejarah politik Indonesia pascademokrasi belum pernah ada penundaan pelaksanaan pemilu. Sebab, tidak ada situasi yang memaksa untuk menunda.
Meski, pandemi sempat menunda jadwal pemilu lokal (pilkada). Namun, kata dia, penundaan pilkada berdasarkan mekanisme penunjukan pejabat pelaksana (Plt) dan lain-lain. Sementara itu, pilkada untuk memilih kepala daerah berbeda dengan pemilu yang bersifat umum atau nasional.
“Dan kita tahu hampir semua negara ketika pandemi menghebat banyak yang menjadwal ulang. Kalau kemudian Pemilu 2024 ditunda dengan alasan yang tidak jelas bisa berbahaya, bisa-bisa masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap sistem demokrasi yang telah terbangun”, ucap Dekan Fisipol UGM itu.
Wawan berpendapat menunda pelaksanaan pemilu merupakan proses berat. Apalagi, dalam konteks Indonesia, UUD 1945 mengamanatkan 5 tahun sekali mesti dilakukan pemilihan umum.
Dia menyebut dengan menunda berarti harus ada perubahan pada konstitusi dan mengubah konstitusi tidak semudah yang dibayangkan. Wawan menyebut pemilu bisa ditunda bila ditemukan alasan memaksa, seperti Indonesia mengalami situasi krisis.
“Kita kan tidak sedang dalam situasi krisis. Betul kita sedang menghadapi pandemi, betul bangsa sedang struggle menghadapi banyak hal tapi tidak sedang dalam krisis. Pandemi memang masih ada tetapi sudah bisa kita kelola, sehingga alasan penundaan itu menjadi susah fondasinya untuk saat ini”, tutur dia.
Apalagi, masyarakat selama dua tahun pandemi cukup mendapat edukasi dan sudah bisa berinvestasi dalam cara hidup baru. Masyarakat dinilai sudah resilien terhadap pandemi dan cakupan vaksin sudah cukup tinggi.
Wawan menilai masyarakat siap untuk Pemilu 2024. Pilkada langsung yang seharusnya dilaksanakan 2019 dan diundur 2020 karena pandemi menjadi cukup modal pengalaman untuk itu.
“Meski ditunda dan masih pandemi, pilkada yang berlangsung cukup menarik karena tingkat partisipasinya cukup tinggi dan tidak terbukti ada penyebaran atau menjadi klaster. Kita harus hargai pengalaman itu dan masyarakat cukup kuat terhadap situasi-situasi semacam itu," tutur dia.
Wawan menilai sejumlah elite dan partai politik masih ngotot menunda Pemilu 2024 lantaran ingin melanggengkan kekuasaan. Mereka ingin melanggengkan kekuasaan yang dimiliki saat ini tanpa harus repot-repot mempersiapkan pemilu.
“Dengan ditunda kan akan panjang posisi dan kekuasaan mereka, baik itu di parlemen atau di mana pun. Jadi lebih ke situ, motif-motif lain saya kira susah untuk dicari. Kita tahu situasi pandemi menjadikan kita struggle tetapi kita kan tidak sedang dalam situasi krisis, tidak ada krisis politik dan tidak ada krisis ekonomi," papar dia.
Wawan menyarankan partai politik mulai mempersiapkan diri dan menunjukkan kinerja terbaik di depan publik. Misalnya, melalui kontribusi di DPR atau kader yang menjadi kepala daerah membuktikan diri kepada masyarakat mereka bisa mengatasi dan membantu bangsa ini keluar dari pandemi.
“Justru bagi partai politik saat ini mempersiapkan diri untuk proses pemilu, kan di jadwal 2024. Masih dua tahun masih bisa mempersiapkan ke situ, mempersiapkan kader guna mempersiapkan program kampanye yang baik, melakukan edukasi pada masyarakat tentang bagaimana pemilu bisa dilakukan," tutur dia.
Wawan menyebut waktu dua tahun merupakan momentum bagus bagi partai politik untuk mempersiapkan diri. Partai diharapkan bersiap untuk pemilu ke depan.
Dia mengingatkan penundaan bisa menjadi diskursus publik. Situasi ini dipastikan akan ramai dan melahirkan kegaduhan politik baru yang justru kontraproduktif terhadap perkembangan demokrasi.
Wawan meyakini jika isu ini terus dibawa akan memunculkan perdebatan publik yang sangat luas. Banyak elemen-elemen masyarakat, tokoh akademisi, masyarakat sipil, kekuatan-kekuatan masyarakat di luar parlemen, dan elite politik yang akan memberikan perspektif mencerahkan terkait perlunya menjaga demokrasi dengan pemilu.
“Saya kira perdebatannya akan ke situ. Akan banyak perdebatan dan saya yakin masyarakat kita kalangan civil society dan para akademisi akan sepenuhnya setuju. Bahkan akan tidak setuju dengan penundaan pemilu ini karena diyakini pandangannya akan cenderung sama penundaan pemilu tanpa ada alasan yang sangat mendesak itu, hanya akan menjadi pintu masuk bagi kemunduran demokrasi yang kita punya”, tegas dia.
Baca: Menunda Pemilu Membahayakan Demokrasi Indonesia
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News