"Perlindungan anak-anak masih terlupakan. Hingga pekan ini, fokus penanganan masih pada evakuasi dan logistik dasar," kata Ubaid dalam siaran pers dikutip Jumat, 5 Desember 2025.
Padahal, kebutuhan spesifik anak juga harus menjadi prioritas. Utamanya, kebutuhan anak untuk dapat mengakses lingkungan belajar yang aman dan stabil.
"Anak-anak harus dilindungi secara fisik dan emosional. Mereka butuh ruang aman dan aktivitas pendidikan untuk memulihkan trauma, bukan dibiarkan menganggur,” ujar Ubaid.
Luputnya hal tersebut juga membuat adanya potensi ancaman putus sekolah. "Situasi ekonomi keluarga yang hancur pasca banjir berpotensi besar memaksa anak-anak putus sekolah karena masalah biaya," tutur Ubaid.
Di samping itu, alasan putus sekolah juga karena membangun sekolah rusak berat butuh waktu yang panjang. Hingga kini, pemerintah belum mengeluarkan skema perlindungan sosial khusus untuk mencegah hal ini.
“Jika tidak ada intervensi cepat, kita akan menghadapi generasi hilang. Anak-anak bisa terhenti pendidikannya bukan hanya karena banjir, tetapi karena kelambanan negara,” tegas Ubaid.
Dia mendesak percepatan penyediaan sekolah darurat. Ubadi menekankan implementasinya harus dipercepat karena keberadaan sekolah darurat di titik-titik bencana dan tenda-tenda pengungsian masih sangat minim sekali.
Sekolah darurat ini juga harus memastikan soal kelayakan, keamanan, dan dilengkapi fasilitas pendukung. Seperti listrik, air bersih, MCK terpisah, P3K di semua titik pengungsian atau lokasi yang aman.
"Pendidikan adalah hak dasar yang tidak boleh terhenti, bahkan dalam situasi bencana. Kelumpuhan sektor pendidikan saat ini adalah darurat yang membutuhkan respons luar biasa," tegas Ubaid.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News