Suasana di Stadion Kanjuruhan Malang saat terjadi kerusuhan. Foto: Metro TV
Suasana di Stadion Kanjuruhan Malang saat terjadi kerusuhan. Foto: Metro TV

Kerusuhan di Kanjuruhan, Pengamat UGM Kritisi Panitia, PSSI hingga Perlunya Edukasi Suporter

Citra Larasati • 04 Oktober 2022 15:16
Jakarta:  Tragedi baru saja terjadi di persepakbolaan Tanah Air, menyisakan pilu dan catatan kelam bagi Indonesia juga dunia.  Ratusan suporter meninggal dunia dalam pertandingan sepak bola antara Arema FC dan Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, pada hari Sabtu, 1 Oktober 2022.
 
Tak hanya laki-laki, namun juga perempuan, bahkan anak-anak, siswa SMP, SMA dan SMK di Kota Malang turut menjadi korban dalam tragedi kerusuhan tersebut. Pemakaian gas air mata oleh aparat keamanan dalam pertandingan tersebut dituding sebagai pemicu jatuhnya banyak korban.
 
Padahal, FIFA sebagai induk sepak bola dunia melarang penggunaan gas air mata di dalam stadion. Berdasarkan pedoman 'FIFA Stadium Safety and Security Regulation' Pasal 19 poin B, disebutkan tidak boleh sama sekali penggunaan senjata api dan gas air mata untuk pengendalian massa.

Menanggapi peristiwa tersebut Pengamat Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Hempri Suyatna., S.Sos., M.Si menyatakan, suporter khususnya sepak bola memiliki karakteristik tersendiri. Suporter sepak bola memilik karakter unik dan  semangat fanatisme yang luar biasa. 
 
Mereka rela mengeluarkan waktu, uang dan tenaga untuk mendukung tim kebanggaan mereka. Bahkan tidak jarang dari mereka harus menjual barang yang dimiliki agar dapat menonton tim kesayangannya berlaga.
 
“Bagi mereka, sepak bola adalah harga diri dan martabat daerah atau martabat bangsa”, ujarnya dilansir dari laman UGM, Selasa, 4 Oktober 2022.
 
Menurut Hempri, dengan memahami karakteristik yang dimiliki para suporter sepak bola sebagai hal yang seharusnya menjadi bahan untuk pola-pola pengasuhan, penanganan atau pengamanan suporter. Oleh karena itu, pendekatan persuasif sudah semestinya harus diutamakan.
 
“Kasus di Kanjuruhan menunjukkan justru pendekatan represif yang dikedepankan. Penggunaan pentungan, penggunaan gas air mata yang sudah jelas dilarang FIFA ternyata justru masih digunakan," terangnya.
 
Menurut Hempri, kasus di Kanjuruhan menjadi pelajaran berharga bagaimana dimensi sosial  suporter seharusnya menjadi pertimbangan di dalam melakukan pola penanganan suporter. Panitia pelaksana dan PSSI sudah saatnya tidak hanya sekadar mengejar keuntungan komersial dengan melupakan aspek-aspek sosial.

Edukasi Suporter

Ke depan, tandasnya, ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian banyak pihak. Pertama, soal edukasi suporter dan pendekatan-pendekatan persuasif menjadi hal yang harus diutamakan.
 
Pemahaman terkait karakteristik, kultur dan sejarah historis antarsuporter seharusnya bisa menjadi acuan di dalam melakukan pengamanan. Bagaimanapun pola detail pengamanan antarklub akan berbeda.
 
“Kedua, perbaikan fasilitas infrastruktur pendukung. Bagaimana membangun stadion ramah anak, stadion ramah perempuan, stadion ramah lansia dan sebagainya. Hal-hal semacam itu perlu dilakukan dan harus dikedepankan," paparnya.
Baca juga:  Tragedi Kanjuruhan, Begini Kata Dosen Unpad Soal Crowd Behavior

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(CEU)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan