Pertama, prinsip utama layanan pendidikan dan pemenuhan hak anak dalam pendidikan. Prinsipnya layanan belajar berlaku untuk semua siswa.
Jika libur ini berlaku secara nasional, maka berdampak juga pada siswa agama non Islam. “Harus dikaji secara holistik, jika libur ini hanya mengakomodir siswa beragama Islam, bagaimana siswa non muslim? Jika mereka libur, mereka tidak mendapat layanan pembelajaran. Jika mereka tetap sekolah, ini juga mendiskriminasi layanan belajar siswa muslim yang libur,” ucap Satriwan di Jakarta, Jumat, 3 Januari 2025.
Kedua, para guru sekolah/madrasah swasta khawatir gaji mereka akan berkurang signifikan jika siswa libur sebulan penuh. Karena orang tua pun keberatan membayar iuran SPP karena anaknya libur sekolah.
"Guru-guru swasta di daerah khawatir, kalau liburnya full selama puasa, nanti yayasan akan memotong gajinya signifikan. Padahal kebutuhan belanja saat bulan puasa ditambah idul fitri keluarga meningkat," lanjutnya.
Baca juga: Wamendiktisaintek: Tak Ada Wacana Libur Kuliah Selama Ramadan |
Data menunjukkan 95% madrasah berstatus swasta, dan sebagian madrasah swasta itu dikelola dengan SDM dan anggaran minim. Gaji gurunya pun di bawah satu juta per bulan.
Pemerintah mesti memikirkan nasib dan kesejahteraan guru swasta kecil, jika sekolah libur sebulan penuh. Ketiga, menurut Satriwan, setiap Ramadan jam belajar memang berkurang atau mendapatkan penyesuaian.
Modifikasi Ulang Jadwal Belajar
Jadi sebenarnya bisa tetap masuk sekolah, namun jadwal pembelajaran selama Ramadan dimodifikasi, diatur ulang, lalu dikombinasikan dengan kegiatan sekolah bernuasa pendidikan nilai kerohanian.“Misal saja, dengan mengurangi jam pelajaran di SMA/MA/SMK dari 45 menjadi 30 - 35 menit. Kemudian mengubah jam masuk sekolah lebih siang dan lebih cepat pulang. Atau juga belajar aktif hanya dua minggu pada pertengahan Ramadan. Sisanya sekolah mengadakan program Pesantren Ramadan. Jadi opsinya ada banyak," lanjut Satriwan.
Siswa tetap belajar menuntaskan kurikulum, tapi juga tidak meninggalkan aktivitas spiritual Ramadan. Sekolah membuat program pembelajaran khusus Ramadan.
Ramadan menjadi momentum siswa dan guru meningkatkan literasi, baik literasi agama seperti membaca dan mempelajari kitab suci, sejarah Islam, kajian karakter tokoh, atau literasi umum.
Proses pembelajaran intrakurikuler tetap dibutuhkan meskipun bulan Ramadan. Sebab sekolah dan guru sudah merancang perencanaan pembelajaran di awal tahun ajaran baru.
"Jika siswa libur selama puasa, akan berdampak negatif terhadap capaian pembelajaran mereka. Kurikulum dan materi pembelajaran akan banyak tertinggal," ujar Satriwan.
Keempat, lemahnya pemantauan dan pengawasan siswa oleh guru dan orang tua jika sekolah diliburkan. Jika siswa dan guru sepenuhnya libur, fungsi pengawasan dan kontrol belajar di rumah sepenuhnya di orang tua.
“Tapi faktanya orang tua yang bekerja atau punya aktivitas lain, tidak dapat mengawasi dan membimbing anak selama libur. Orang tuanya tidak libur, tetap mencari nafkah di luar rumah," lanjutnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News