Candi Borobudur merupakan peninggalan Kerajaan Buddha di Indonesia. DOK
Candi Borobudur merupakan peninggalan Kerajaan Buddha di Indonesia. DOK

Mengungkap Sejarah Kerajaan Sriwijaya, Mataram Kuno, dan Medang Wangsa Isyana

Renatha Swasty • 13 Maret 2025 20:04
Jakarta: Kisah-kisah kerajaan Nusantara kerap kali bercampur antara legenda dan sejarah. Salah satu contohnya adalah cerita Roro Jonggrang dan Bandung Bondowoso yang membangun 1.000 candi dalam semalam. Padahal, secara historis, candi yang dimaksud dalam legenda tersebut sebenarnya dibangun pada masa pemerintahan Rakai Pikatan dan Pramodhawardhani.
 
Agar tidak keliru membedakan antara legenda dan sejarah yang berdasarkan bukti, penting bagi kita memahami lebih dalam sejarah kerajaan-kerajaan besar di Indonesia, seperti Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Mataram Kuno, dan Kerajaan Medang. Berikut pembahasannya lebih lanjut dikutip dari laman ruangguru.com:

Sejarah Kerajaan Sriwijaya

Pada abad ke-7, berdiri sebuah kerajaan maritim yang berkembang pesat di Sumatra, yaitu Kerajaan Sriwijaya atau Kedatuan Sriwijaya. Kerajaan ini lebih berfokus pada perdagangan dan penyebaran agama Buddha dibandingkan dengan memperkuat aspek politik. Sriwijaya muncul bersamaan dengan berkembangnya kota-kota perdagangan di pantai timur Sumatra, yang menjadi jalur strategis bagi aktivitas perdagangan internasional. Kerajaan ini diperkirakan berpusat di sekitar pesisir Sungai Musi dan Sungai Ogan, Palembang.
 
Menurut Prasasti Kedukan Bukit, raja Sriwijaya yang bernama Dapunta Hyang berhasil menaklukkan daerah Minangatamwan, yang kini diperkirakan sebagai wilayah Jambi. Letaknya yang strategis memungkinkan Sriwijaya menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan lain, seperti Nalanda dan Chola di India, serta pedagang dari Tiongkok. Perdagangan yang berkembang pesat membuat ekonomi kerajaan semakin maju.

Puncak kejayaan Sriwijaya terjadi pada masa pemerintahan Raja Balaputradewa, seorang keturunan Dinasti Syailendra dari Mataram Kuno. Pada abad ke-7 M, Sriwijaya berhasil menguasai jalur perdagangan di Selat Sunda, Selat Malaka, Selat Bangka, dan Laut Jawa. Bukti hubungan Sriwijaya dengan dunia luar dapat ditemukan dalam Prasasti Nalanda, yang mencatat pengiriman pelajar ke India untuk mendalami agama Buddha.
 
Seperti yang tercatat dalam Prasasti Ligor di Thailand, Sriwijaya juga memiliki pangkalan dagang yang mengawasi jalur perdagangan di Asia Tenggara. Hal ini menjadikan Sriwijaya sebagai kerajaan maritim terbesar di kawasan tersebut. Namun, kejayaan ini perlahan memudar pada abad ke-13 M, seiring munculnya kerajaan-kerajaan besar seperti Siam dan Singasari. Ekspedisi Pamalayu yang dilakukan oleh Singasari serta melemahnya aktivitas perdagangan turut mempercepat kehancuran Sriwijaya. Pada tahun 1377, Sriwijaya akhirnya runtuh akibat serangan dari Majapahit.
 
Sriwijaya meninggalkan berbagai prasasti yang tersebar di dalam maupun luar negeri, seperti Prasasti Kedukan Bukit, Ligor, Nalanda, Hujung Langit, Kota Kapur, Telaga Batu, Palas Pasemah, Talang Tuo, Leiden, dan Karang Berahi. Beberapa prasasti ini berisi kutukan bagi pihak yang melawan kerajaan, seperti yang ditemukan dalam Prasasti Telaga Batu, Karang Berahi, Kota Kapur, dan Palas Pasemah.
 
Baca juga: 4 Teori Masuknya Hindu-Buddha ke Indonesia
 

Sejarah Kerajaan Mataram Kuno

Kerajaan Mataram Kuno sebenarnya lebih dikenal sebagai Kerajaan Medang, karena "Mataram" merujuk pada nama wilayahnya. Kerajaan ini nantinya akan berpindah ke Jawa Timur akibat bencana alam, terutama letusan Gunung Merapi. Setelah perpindahan tersebut, kerajaan ini lebih dikenal sebagai Kerajaan Medang Wangsa Isyana.
 
Mataram Kuno merupakan kerajaan bercorak Hindu-Buddha yang memiliki dua dinasti besar, yaitu Dinasti Sanjaya yang beragama Hindu dan Dinasti Syailendra yang beragama Buddha. Oleh karena itu, peninggalan candi dari kerajaan ini ada yang bercorak Hindu, seperti Candi Dieng dan Prambanan, serta bercorak Buddha, seperti Candi Borobudur dan Mendut.
 
Raja pertama Mataram Kuno adalah Sanjaya, yang dikenal melalui Prasasti Canggal sebagai pendiri kerajaan. Setelahnya, Rakai Panangkaran naik tahta dan mulai mengembangkan agama Buddha di kerajaan ini. Ia membangun Candi Kalasan sebagai tempat pemujaan Dewi Tara dan juga Candi Sewu sebagai pusat pemujaan Mañjusri.
 
Pada masa pemerintahan Rakai Pikatan, terjadi pernikahan antara dirinya yang beragama Hindu dengan Pramodhawardhani yang beragama Buddha. Hal ini mencerminkan toleransi antaragama di kerajaan tersebut. Di masa pemerintahannya, pembangunan Candi Borobudur diselesaikan dan Candi Prambanan mulai dibangun.
 
Menurut Prasasti Mantyasih yang diterjemahkan oleh F.D.K. Bosch, raja-raja yang pernah memerintah Mataram Kuno antara lain:
  1. Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya
  2. Sri Maharaja Rakai Panangkaran
  3. Sri Maharaja Rakai Panunggalan
  4. Sri Maharaja Rakai Warak
  5. Sri Maharaja Rakai Garung
  6. Sri Maharaja Rakai Pikatan
  7. Sri Maharaja Rakai Kayuwangi
  8. Sri Maharaja Rakai Watuhumalang
  9. Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Sri Dharmodaya Mahasambu
Selain sembilan raja tadi, ada juga pemimpin lain seperti Rakai Sumba Dyah Wawa, yang dianggap sebagai raja terakhir Kerajaan Mataram Kuno. Setelah itu, kerajaan ini pindah ke Jawa Timur karena letusan Gunung Merapi. Perpindahan ini dipimpin oleh Mpu Sindok, yang kemudian membangun wangsa baru dan melanjutkan Kerajaan Medang.

Sejarah Kerajaan Medang Wangsa Isyana

Setelah berpindah ke Jawa Timur, kerajaan ini dipimpin oleh Mpu Sindok yang bergelar Sri Isyana Wikramadharmotunggadewa. Pada masa pemerintahannya, aktivitas perdagangan berkembang pesat, terutama di tepi Sungai Brantas, yang kini berada di wilayah Jombang.
 
Salah satu bentuk toleransi dalam pemerintahan Mpu Sindok adalah ketika ia mengizinkan penyusunan kitab suci agama Buddha, Sanghyang Kamahayanikan, meskipun ia sendiri menganut agama Hindu. Keturunannya kemudian dikenal sebagai Dinasti Isyana, yang melanjutkan pemerintahan Kerajaan Medang.
 
Pada masa pemerintahan Dharmawangsa Teguh, aktivitas perdagangan semakin luas hingga keluar dari Jawa Timur. Namun, kekuasaannya berakhir secara tragis ketika Kerajaan Medang diserang oleh Raja Wurawari dari Lwaram saat pesta pernikahan putrinya dengan keponakannya, Airlangga. Dharmawangsa tewas dalam serangan tersebut, menandai runtuhnya Kerajaan Medang.
 
Namun, Airlangga berhasil melarikan diri dan kemudian mendirikan kerajaan baru di Kahuripan, Sidoarjo, Jawa Timur.
 
Kerajaan-kerajaan ini bukan sekadar warisan masa lalu, tetapi juga cerminan ketahanan dan perubahan dalam sejarah Nusantara. Kejayaan dan keruntuhannya mengajarkan bahwa kekuatan politik, ekonomi, dan budaya saling membentuk peradaban. Memahami sejarah tidak hanya tentang mengenang, tetapi juga mengambil pelajaran untuk masa depan bangsa. (Antariska)
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(REN)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan