"Mereka itu adalah kekuatan Islam Indonesia masa depan, menjadi kekuatan Islam di Indonesia yang tidak dimiliki negara lain," kata Mu'ti saat memberikan tausyiyah di Pesantren Cendekia Amanah, Kalimulya, Depok melalui keterangan tertulis, Senin, 10 Maret 2025.
Mu’ti menterjemahkan organisasi Nahdlatul Ulama bukan kebangkitan para ulama, tetapi kebangkitan kaum cendekiawan atau kebangkitan kaum intelektual. Kenyataan yang berkembang di kalangan NU banyak yang menguasai kitab putih, selain tentu kitab kuning.
“Alhamdulillah NU yang menguasai kitab putih banyak, Muhammadiyah menguasai kitab kuning juga banyak”, ucap dia.
Dia mengatakan sebutan Muhammadiyah modernis, NU tradisionalis sudah tidak relevan lagi.
Mengutip buku Fazrul Rachman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Traditions, sekitar tahun 1982-an memang masih menyebut kesenjangan modernis dan tradisional.
Mu’ti menyebut kesenjangan kelompok modernis dan kaum tradisionalis kini hampir tidak ada lagi. “Pertemuan seperti ini di mana tokoh dari berbagai ormas sangat cair, itu tidak terjadi di negara muslim lain,” tutur dia.
Dia menjelaskan dengan mengutip Prof Kuntowijoyo dalam buku Muslim Tanpa Masjid, buku terbitan 1994 yang menjelaskan meski banyak generasi muslim berasal dari latar belakang berbeda-beda tetapi memiliki sisi keislaman yang hampir sama.
Menurut Prof Kunto, ada tiga konvergensi yang terjadi. Pertama, konvergensi antara kelompok tradisional dan kelompok modernis. Tidak ada lagi perbedaan yang sangat tajam antara NU dan Muhammadiyah.
Kedua, konvergensi antara kelompok santri dan abangan, yang juga sudah nyaris tidak terjadi. Ketiga konvergensi politik, hampir tidak ada perbedaan antara partai Islam dengan partai yang tidak Islam atau partai nasionalis.
Mu’ti mencontohkan PDI Perjuangan yang dulu identik dengan kelompok yang cederung pada abangan sekarang ini banyak santri di partai itu. Selain itu, juga banyak santri di partai Golkar yang identik dengan abangan.
Dia menuturkan dalam buku yang sama dijelaskan konvergensi terjadi karena beberapa faktor. Pertama, sejak Presiden Suharto mewajibkan pendidikan agama sebagai pelajaran wajib di semua jenjang dan jenis pendidikan, yang sebelumnya pendidikan agama hanya pilihan.
Sehingga, anak-anak dari keluarga abangan, keluarga santri, keluarga priyayi belajar agama dari guru yang sama dan buku pelajaran agama yang sama. Kedua, karena peran IAIN, tempat sebagaian besar kalangan santri kuliah di IAIN, mereka belajar dari dosen yang sama dan literatur yang sama.
Mu’ti menyebut Guru Besar IAIN, sekarang UIN, perbedaan Muhammadiyah dan NU sudah hampir tidak terlihat. “Perbedaannya mungkin afiliasi organisasi saja, pandangan keagamaan sudah hampir sama,” ujar dia.
Ketiga, menurut Mu’ti banyak anak-anak NU yang belajar di kampus dan sekolah Muhammadiyah. Dia menuturkan 70 persen mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Surakarta dari NU, begitu juga di Universitas Muhammadiyah Malang.
“Ketika mereka belajar di Muhammadiyah ada kemungkinan, dia masuk Muhammadiyah, kemungkinan lain NU nya makin kuat, yang banyak terjadi makin kuat,” kelakar Mu'ti.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News