Pengrajin tahu tempe. Medcom.id/Roni K
Pengrajin tahu tempe. Medcom.id/Roni K

Pakar Agribisnis IPB University Tawarkan Solusi Cegah Melonjaknya Harga Kedelai

Renatha Swasty • 22 Februari 2022 12:23
Jakarta: Persoalan naiknya harga kedelai sering kali berulang setiap tahun. Dosen Departemen Agribisnis IPB University Feryanto menyebut mestinya hal itu menjadi pelajaran agar persoalan serupa tidak terjadi.
 
"Kita seharusnya belajar dari masa lalu. Apa masalah utamanya dan strateginya seperti apa. Ini seharusnya sudah ada jawaban. Hal ini menunjukkan adanya ketidakkonsistenan upaya pemerintah dalam mewujudkan swasembada,” ujar Fery dalam keterangan tertulis, Selasa, 22 Februari 2022.
 
Fery melihat euforia swasembada pangan terkesan timbul tenggelam. Dia menyebut pada era Presiden Joko Widodo periode I ada jargon swasembada Pajale, namun pada periode kedua hilang.  

“Kita tidak tahu ke mana program itu. Apakah berlanjut apa tidak,” tutur dia.
 
Selain itu, perlunya data sebagai proses pengambilan keputusan. Dia menyebut dari data produksi dan kebutuhan konsumsi bisa dihitung kebutuhan kekurangan kedelai.
 
“Sehingga, kita seharusnya sudah bisa menentukan apakah kekurangan itu kita penuhi sendiri, kita impor, atau kombinasi keduanya. Hal ini penting, untuk menghindari kekisruhan yang terjadi setiap tahun, terutama lagi menjelang hari-hari besar keagamaan,” ujar Fery.
 

Fery menyebut penting ada cadangan pangan untuk kedelai. Cadangan ini dapat digunakan untuk mengantisipasi kenaikan harga oleh pemerintah.
 
“Kedelai sudah menjadi bahan pangan pokok masyarakat Indonesia, sehingga peran dan intervensi pemerintah sangat diperlukan. Cadangan pangan (kedelai) dapat digunakan dalam bentuk operasi pasar ketika pasokan tidak tersedia,” ujar dia.
 
Fery menyebut solusi pengganti kedelai sangat mungkin dan sudah dilakukan kelompok/komunitas masyarakat. Mereka memanfaatkan hasil potensi lokal yang berasal dari kacang-kacang selain kedelai. Seperti biji legum, kacang edamame, kacang tolo, kacang hijau, kacang kedelai hitam, kacang koro, dan biji lamtoro yang potensinya belum dioptimalkan.
 
“Kacang-kacangan ini bisa didapat dengan mudah dan ternyata memiliki kandungan gizi dan protein yang lebih tinggi dari kedelai impor (khususnya). Akan tetapi pengarajin tahu tempe enggan menggunakan biji-biji lokal ini. Ini karena proses produksi agak berbeda, adanya bau dan rasa yang tidak biasa,” beber dia.
 
Fery menyebut hal itu sebenarnya tergantung kebiasaan. Masyarakat harus diedukasi tempe dan tahu dari nonkedelai juga memiliki rasa dan kandungan gizi/protein yang lebih bagus.
 
Dia menilai pengrajin tahu tempe yang memanfaatkan biji nonkedelai juga mesti diberikan insentif. Misalnya, bantuan modal pengembangan usaha dan bantuan mekanisasi/mesin untuk pengolahan agar lebih higenis dan disenangi konsumen.
 
Sementara itu, sebagai solusi jangka pendeknya pemerintah mesti mampu mengeluarkan cadangan yang dimiliki dan melakukan operasi pasar. Dia menyebut permasalahan bukan tidak ada pasokan, tetapi kenaikan harga.
 
"Operasi pasar sebagai intervensi pemerintah untuk menegur importir agar bisa bekerja sama menyediakan kedelai dengan harga yang terjangkau," kata dia.
 
Selain itu, pemerintah perlu memberikan insentif atau subsidi harga impor kedelai untuk sementara waktu sampai harga kembali normal. Namun, solusi ini perlu mempertimbangkan dengan kondisi fiskal pemerintah.
 
Sedangkan, untuk solusi jangka panjang, pemerintah harus total memuwujudkan swasembada tidak setengah-setengah. Roadmap swasembada pangan Indonesia, termasuk kedelai, sudah ada tinggal dievaluasi dan diperbaiki.
 
“Selama ini kita fokus dan melihat roadmap tersebut jika ada masalah. Ketika masalah selesai dengan sendirinya (anti klimaks) maka pemerintah seolah lupa. Jika kedelai dibiarkan mengikuti mekanisme pasar, itu bisa terjadi. Namun, untuk kedelai kan tidak demikian, masih diatur pemerintah karena bagian dari bahan pangan pokok yang harus diawasi,” uajr dia.
 
Adapun terkait peningkatan produksi kedelai, Fery menyampaikan produksi kedelai lokal harus didorong dengan mengoptimalkan lahan-lahan yang tidak digunakan/lahan marjinal yang jumlahnya sangat banyak. Hal ini juga perlu didukung dengan penggunaan bibit unggul dan mekanisasi pertanian agar produktivitas dapat ditingkatkan.
 
Jaminan ketersediaan pupuk dan obat-obatan juga menjadi faktor penting. Hal itu target produktivitas bisa dicapai.
 
“Penggunaan lahan perlu dipetakan. Hal ini sangat bisa dilakukan dengan teknologi pencitraan (satelit) sehingga terpetakan daerah-daerah yang dapat ditanami kedelai,” jelas dia.
 
Selain itu, harus ada penguatan ke pasar dan rantai distribusi. Hal itu agar kedelai bisa langsung dimanfaatkan pengrajin tahu tempe dan tidak melewati jalur distribusi yang panjang.
 
“Ini menjadi bentuk insentif harga yang diperoleh petani. Saat ini ketika kedelai impor harganya tinggi, lebih tinggi dari kedelai lokal, tentu jadi momentum untuk memperbaiki manajemen pangan nasional,” tegas dia.
 
Baca: Dosen IPB Ungkap Melonjaknya Harga Kedelai
 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(REN)
Read All




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan