Momentum mengejutkan justru ketika Nadiem didapuk menakhodai Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Sosok Nadiem yang milenial, bukan profesor, tak juga pernah memegang jabatan penting di perguruan tinggi tertentu seperti tradisi para pendahulunya menjadi salah satu faktor munculnya keterkejutan tersebut. Tak mengherankan juga jika Nadiem lebih nyaman disapa 'Mas', bukan 'Pak'.
Namun, mantan Bos Gojek ini justru mengaku tak terkejut, sebab dalam setiap pertemuannya dengan Jokowi, Nadiem mengaku selalu diajak diskusi tentang topik-topik pendidikan. Bukan soal tenaga kerja, industri kreatif, apalagi soal industri berbasis digital yang menjadi keahliannya selama ini.
"Beberapa kali diajak diskusi dengan Presiden, topik yang dibicarakan selalu ujung-ujungnya ke pendidikan," ujar Nadiem kepada sejumlah wartawan usai pelantikannya kala itu.
Nadiem Anwar Makarim, lahir di Singapura, 4 Juli 1984 (umur 35 tahun) adalah pendiri Gojek, sebuah perusahaan transportasi dan penyedia jasa berbasis daring. Nadiem menamatkan pendidikan tingginya di jurusan International Relations di Brown University (2006).
Di tahun yang sama, Nadiem memulai kariernya sebagai konsultan manajemen di McKinsey and Company. Setelah memperoleh gelar MBA, ia terjun sebagai pengusaha dengan mendirikan Zalora Indonesia.
Di perusahaan tersebut ia juga menjabat sebagai Managing Editor. Setelah keluar dari Zalora, ia kemudian menjabat sebagai Chief Innovation Officer (CIO) Kartuku, sebelum akhirnya fokus mengembangkan Gojek yang telah ia rintis sejak tahun 2011.
Baru tiga tahun kemudian ia mengambil pascasarjana dan meraih gelar Master of Business Administration di Harvard Business School.
Tugas Nadiem
Menjadi Mendikbud, Nadiem tak diminta untuk mengoptimalkan kemampuannya sebagai pengusaha berbasis digital. Presiden justru meminta Nadiem membantunya untuk membuat terobosan baru dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia.Amanah untuk Nadiem ini sejalan dengan misi pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin yakni membangun SDM unggul. "Akan membuat terobosan-terobosan siginifkan untuk membangun SDM. Menyiapkan SDM siap kerja, link and match pendidikan dan industri," kata Jokowi di Istana Kepresidenan Jakarta.
Jokowi kala itu mengatakan, dirinya membutuhkan menteri yang bisa menguasai data untuk menghadapi era yang tak bisa diprediksi saat ini. Oleh karena itu, diperlukan sosok yang berpengalaman di bidang tersebut sehingga bisa memprediksi masa depan.
"Ini kenapa pilih Mas Nadiem Makarim. (Kita) perlu memprediksi selera konsumen, perlu memprediksi selera politik, perlu prediksi bagaimana perilaku-perilaku anak muda sekarang, misalnya," ungkap Presiden.
Presiden berharap, di tangan Nadiem, sistem pendidikan Indonesia dapat berubah drastis. Sebab sistem pendidikan Indonesia saat ini, dianggap Jokowi sudah kuno, ketinggalan zaman.
"Presiden sangat mengharapkan ada perubahan drastis di dalam sistem pendidikan kita," imbuh Sekretaris Kabinet Pramono Anung.
Oleh karena itu, Jokowi memilih sosok muda Nadiem Makarim untuk mengisi jabatan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Pramono mengatakan, Jokowi percaya dengan tangan dingin Nadiem.
Agar fokus menjalankan amanah barunya ini, Nadiem pun menyatakan telah mengundurkan diri dari jabatannya sebagai CEO Gojek. Perusahaan rintisan (startup) digital PT Aplikasi Karya Anak Bangsa ini akhirnya berhasil naik peringkat dari unicorn menjadi decacorn.
Di tangan Nadiem, produk aplikasi yang populer dengan nama Gojek ini resmi menjadi platform digital pertama asal Indonesia yang nilainya melebihi USD10 miliar.
100 hari pertama
Meski menamatkan gelar pendidikan tingginya di sejumlah universitas top dunia, Brown University dan Harvard Business School, namun Nadiem enggan jemawa. Ia mengakui dirinya masih membutuhkan waktu untuk belajar tentang dunia pendidikan Indonesia.Tak seperti sejumlah menteri lainnya yang langsung menggelontorkan program 100 hari kerja, Nadiem justru dengan rendah hati meminta 100 hari pertamanya sebagai Mendikbud digunakan untuk belajar.
Dalam seratus hari, Nadiem memilih belajar dan menjadi pendengar. Ia menyebut akan belajar dari pakar-pakar di Kemendikbud yang telah meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Nadiem pun berjanji akan menjadi fast learner, belajar secara kilat di 100 hari pertamanya.
"Pada 100 hari akan mengerjakan apa yang layaknya murid seluruh indonesia lakukan, yaitu belajar," kata Nadiem.
Ia meminta kepada dirjen dan timnya di Kemendikbud untuk bersabar. "Saya akan belajar sebanyak-banyaknya. Tapi jangan khawatir, saya sudah mempersiapkan. Banyak PR (pekerjaan rumah) sudah saya kerjain," ujarnya.
Disambut PISA 2018
Menjalani peran baru sebagai Mendikbud di Kabinet Indonesia Maju menjadi tak sama dengan di era Mendikbud Muhadjri Effendy. Sebab Kemendikbud di era Nadiem berbarengan dengan kembali bergabungnya pendidikan tinggi ke tubuh Kemendikbud.Hal ini tentu saja menjadi pekerjaan tambahan bagi Nadiem. Ia tak lagi seperti menteri terdahulu yang hanya mengurus pendidikan usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Kenyataan pahit juga langsung ia terima. Kedatangannya disambut dengan momentum dirilisnya hasil Programme for International Assessment (PISA) Tahun 2018 yang dikeluarkan Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Momentum ini cukup menyorot perhatian, pasalnya hasil PISA 2018 tak menggembirakan.
Hal ini seolah menambah pekerjaan rumah baru bagi Nadiem sebagai Mendikbud. Di 2018, hasil PISA Indonesia menurun dengan menduduki peringkat 72 dari 77 negara.
Sedangkan di 2015 lalu, Indonesia menempati posisi 63 dari 71 negara peserta PISA.
Peringkat Indonesia di antara negara Asia Tenggara yang tergabung di OECD ini hanya sedikit lebih baik dari Filipina yang bercokol di posisi juru kunci 77.
Sementara Thailand di peringkat ke-66, Brunei Darussalam di peringkat ke-59, Malaysia di peringkat ke-56. Menanggapi hasil PISA 2018, Nadiem meresponsnya dengan tenang, baginya laporan tersebut merupakan sebuah refleksi untuk pendidikan Indonesia.
"Kalau saya menyebutnya cara belajar, yang mungkin bisa mengetahui apa yang kita perbaiki, harus kita bandingkan. Kalau kita tidak melihat dari luar apakah luar sekolah, luar mata pelajaran kita, baik luar negara kita. Inilah kunci kesuksesan belajar untuk mendapatkan perspektif. Sebanyak mungkin perspektif," kata Nadiem.
Merdeka Belajar
Beberapa pekan berselang, tepatnya dua pekan menjelang tutup tahun 2019, sejumlah persoalan pendidikan yang menumpuk itu pun mulai dijawab Nadiem. Meski belum genap berakhir 100 hari masa "belajar"-nya, Nadiem secara mengejutkan menyodorkan "kado" akhir tahun berupa sejumlah penyesuaian kebijakan pokok pendidikan yang diberi label "Merdeka Belajar"Ada empat penyesuaian kebijakan baru yakni terkait Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), Ujian Nasional (UN), Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) berbasis Zonasi.
“Empat program pokok kebijakan pendidikan tersebut akan menjadi arah pembelajaran ke depan yang fokus pada arahan Bapak Presiden dan Wakil Presiden dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia,” kata Nadiem saat Peluncuran Empat Pokok Kebijakan Pendidikan “Merdeka Belajar”.
Arah kebijakan baru penyelenggaraan USBN, kata Nadiem, mulai 2020 ujian tersebut akan berubah menjadi Ujian Sekolah. Model baru ini berdampak pada akan dikembalikannya kewenangan ujian dan kelulusan siswa kepada sekolah.
USBN dilakukan untuk menilai kompetensi siswa yang dapat dilakukan dalam bentuk tes tertulis atau bentuk penilaian lainnya yang lebih komprehensif, seperti portofolio dan penugasan (tugas kelompok, karya tulis, dan sebagainya).
Selanjutnya, mengenai UN, Nadiem menegaskan, bahwa 2020 akan menjadi pelaksanaan UN untuk terakhir kalinya. Penyelenggaraan UN di 2021, akan diubah menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter yang mengacu pada praktik baik pada level internasional seperti PISA (Programme for International Student Assessment) dan TIMSS (The Trends in International Mathematics and Science Study).
Sedangkan untuk penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Kemendikbud akan menyederhanakannya dengan memangkas beberapa komponen. Dalam kebijakan baru tersebut, guru secara bebas dapat memilih, membuat, menggunakan, dan mengembangkan format RPP.
Tiga komponen inti RPP terdiri atas tujuan pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan asesmen. Hal ini memungkinkan penyusunan RPP cukup satu lembar, tak seperti sebelumnya yang mencapai puluhan lembar.
Dalam penerimaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), Kemendikbud tetap menggunakan sistem zonasi dengan kebijakan yang lebih fleksibel untuk mengakomodasi ketimpangan akses dan kualitas di berbagai daerah. Komposisi PPDB jalur zonasi dapat menerima siswa minimal 50 persen, jalur afirmasi minimal 15 persen, dan jalur perpindahan maksimal 5 persen. Sedangkan untuk jalur prestasi atau sisa 0-30 persen lainnya, disesuaikan dengan kondisi daerah.
Menanggapi sejumlah kebijakan di era Muhadjir Effendy yang diubah Nadiem, Muhadjir yang kini menjadi Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) pun memberikan apresiasi atas kebijakan “Merdeka Belajar” yang digagas Nadiem.
"Kami mendukung inisiatif Kemendikbud mengangkat gagasan tersebut. Dengan kebijakan ini guru dapat lebih fokus pada pembelajaran siswa. Dan siswa pun bisa lebih banyak belajar. Mari kita semua bersikap terbuka dan optimistis dalam menyongsong perubahan ini,” pungkas Muhadjir.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News