Juru Bicara (Jubir) Kemenag Anna Hasbie mengatakan, di dalam PMA mengatur bentuk kekerasan seksual mencakup perbuatan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi. Ada setidaknya 16 klasifikasi bentuk kekerasan seksual, termasuk menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender korban.
“Menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada korban juga termasuk bentuk kekerasan seksual. Termasuk juga menatap korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman,” sebut Anna, dalam siaran persnya, Jumat, 14 Oktober 2022.
Sebagai upaya pencegahan, PMA ini mengatur satuan Pendidikan antara lain harus melakukan sosialisasi, pengembangan kurikulum dan pembelajaran, penyusunan SOP pencegahan, serta pengembangan jejaring komunikasi. Satuan pendidikan dapat berkoordinasi dengan Kementerian/Lembaga, pemerintah daerah, perguruan tinggi, satuan pendidikan lain, masyarakat, dan orang tua peserta didik.
“Terkait penanganan, PMA ini mengatur tentang pelaporan, pelindungan, pendampingan, penindakan, dan pemulihan korban. Terkait sanksi, PMA ini mengatur bahwa pelaku yang terbukti melakukan kekerasan seksual berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, dikenakan sanksi pidana dan sanksi administrasi,” tandasnya.
Dengan terbitnya PMA ini, lanjut Anna, Kementerian Agama akan segera menyusun sejumlah aturan teknis, baik dalam bentuk Keputusan Menteri Agama (KMA), pedoman, atau SOP, agar peraturan ini bisa segera dapat diterapkan secara efektif.
Anna berharap, terbitnya PMA ini akan menjadi panduan bersama seluruh stakeholders satuan pendidikan Kementerian Agama dalam upaya penanganan dan pencegahan kekerasan seksual. “Harapannya, ke depan tidak terjadi lagi kekerasan seksual di satuan pendidikan,” tandasnya.
Baca juga: Akhirnya, Kemenag Terbitkan PMA PPKS di Satuan Pendidikan |
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News