Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pandu Baghaskoro memberi contoh, SMK yang berada di wilayah pesisir idealnya menyediakan pendidikan vokasi yang bisa mendukung kebutuhan industri perikanan. "Dengan begitu para lulusannya bisa mendukung berkembangnya industri unggulan di daerah masing-masing, sehingga minim lulusan yang menganggur," kata Pandu, di Jakarta, Selasa, 6 November 2018.
Namun sayangnya, pemerintah daerah yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan SMK ini, banyak yang menganggap penyusunan kurikulum pendidikan vokasi bukan tanggung jawab mereka. Sehingga tidak heran jika ada SMK di wilayah pesisir malah menawarkan program pendidikan permesinan dan bukan perikanan.
“Jadi tidak hanya permasalahan infrastruktur pendukung, namun pengembangan kurikulum ini saya lihat selalu menjadi permasalahan utama, kenapa banyak penganggur itu merupakan lulusan SMK. Bagaimana industri mau mempekerjakan mereka, jika mereka tidak punya kemampuan mumpuni yang sesuai standar industri?” urai Pandu.
Baca: Peralatan Praktikum SMK Jauh di Bawah Standar Industri
Untuk itu, kata Pandu, penyiapan sarana dan kelengkapan SMK penting dilakukan. Selain itu, permasalahan kurikulum ini dapat diminimalisir dengan andil pemerintah daerah dalam penyusunan kurikulum pendidikan vokasi di wilayah masing-masing.
Dengan adanya pemetaan yang baik di seluruh wilayah Indonesia, penyelenggaraan pendidikan vokasi di SMK dapat disesuaikan dengan kebutuhan domestik. "Pemerintah daerah lah yang seharusnya memiliki kapasitas untuk menentukan hal-hal seperti ini, karena mereka pasti tahu betul keadaan industri dan ekonomi di wilayahnya," ungkap Pandu.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat pengangguran terbuka tertinggi berdasarkan pendidikan, masih berasal dari lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), yakni sebesar 11,24%. Tingkat pengangguran terendah sebesar 2,43% berasal dari penduduk berpendidikan sekolah dasar (SD) ke bawah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News