Rupanya, dia adalah Budi Prasojo, 68, pensiunan guru SMA dan MTsN dari Pandean, Umbulharjo, Yogyakarta. Ia datang sebagai ayah mertua dari wisudawan dr. Sarly Puspita Ariesta, Sp.PD-KGer yang baru meraih gelar dokter di bidang Subspesialis Geriatri.
Budi mengaku telah bernazar mengenakan kostum Ledhek Gogik jika anak mantunya berhasil meraih gelar dokter subspesialis. Boneka yang digendongnya dihias khusus mengenakan surjan biru bermotif bunga, blangkon, dua samir UGM, dan sebuah cetak foto sederhana di dada boneka tersebut yang menampilkan gambar diri anak mantunya beserta keluarga kecilnya.
“Waktu anak saya (suami Sarly) lulus S-3 saat pandemi covid-19, saya tidak sempat memakainya. Sekarang, nazar itu saya penuhi untuk menantu saya,” ucap dia dikutip dari laman ugm.ac.id, Kamis, 24 April 2025.
Ledhek Gogik adalah sebuah kesenian tradisional yang hampir punah. Ledhek Gogik berasal dari kata “ledhek” yang berarti penari dan “gogik” yang merujuk pada tiwul kering, makanan pokok masyarakat era 1960-an saat dirundung kelaparan.
Baca juga: Jalan Panjang Fendi Lulus dari UGM, Butuh 2 Tahun Seleksaikan Skripsi |
Nama ini menggambarkan perjuangan rakyat mencari sesuap nasi tiwul aking yang direbus ulang dengan kelapa yang kemudian dijadikan tarian hiburan sebagai bagian dari seni pertunjukan. “Saya ingin memperkenalkan kembali kesenian lama ini kepada masyarakat. Tarian ini juga bisa mengikuti irama apa saja,” ujar Budi.
Saat ini, hanya segelintir orang yang masih melestarikan Ledhek Gogik, termasuk dirinya yang tergabung dalam Komunitas Desa Wisata Pandean, Kota Yogyakarta. Petugas wisuda yang melihat Budi mengajaknya menuju lantai dua dan duduk di belakang panggung.
Tidak lama kemudian, sang menantu diajak petugas wisuda menemui Bapak mertuanya. Sarly, terkejut melihat ayah mertuanya tampil dengan kostum Ledhek Gogik.
Sarly mengungkapkan rasa terima kasih atas dukungan penuh dari keluarga dan suaminya yang juga meraih gelar S-3 Elektro di UGM. Ia menyebut mertuanya itu memang mencintai budaya dan pernah mengambil peran menjadi dalang dan pemain ketoprak.
“Bapak memang budayawan. Beliau menyayangi saya seperti bapak saya sendiri,” tutur dia.
Kehadiran Budi di acara wisuda UGM bukan hanya sebagai bentuk dukungan keluarga, tetapi juga upaya melestarikan budaya dan tradisi yang hampir terlupakan. Semangatnya menjadi inspirasi bagi generasi muda untuk tidak melupakan akar budayanya.
“Bekerja yang baik, berkeluarga yang baik, berwarga negara yang baik,” pesan Pak Budi terhadap anak menantunya tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News