Selama 1,5 tahun terakhir, mayoritas siswa di Indonesia bak ditawan pandemi. Semua terpaksa melakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ) dari rumah. Gawai dan internet pun jadi senjata utama agar tetap bisa mengakses pendidikan.
Bagi warga pendidikan di kota besar, ketersediaan infrastruktur mungkin tak begitu jadi kendala. Namun, bukan berarti nihil perjuangan. Efektivitas belajar lewat 'perantara' tentu tak akan sama dibandingkan belajar langsung di sekolah secara tatap muka.
Hal ini diakui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Terjadi penurunan hasil belajar siswa selama PJJ, baik itu secara daring maupun luring terbatas.
Belum lagi bicara soal penguasaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Survei Kemendikbudristek per April 2021 mengungkapkan, penguasaan alat TIK di kalangan pelaku pendidikan masih sangat minim. 60 persen guru gagap teknologi.
Baca: Pembelajaran Adaptif Solusi Atasi Kesenjangan Pendidikan Saat Pandemi
Tantangan lebih rumit dihadapi warga pendidikan di daerah terpencil. Sebab, ketersediaan infrastruktur sebagai kebutuhan dasar belajar daring tak mereka miliki. Siswa maupun guru harus berjuang ekstra keras demi tetap merasakan pendidikan.
Seperti yang dilakukan para siswa yang ada di Desa Aendoko, Kecamatan Wewaria, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT). Mereka terpaksa mengerjakan tugas sekolah di atas batu. Ini lantaran di atas bebatuan di Kali Lowolaka itu, mereka baru bisa mendapatkan signal.
Demi bisa mendapatkan jaringan internet, mereka harus berjalan kaki menyusuri hutan dan sungai sekitar satu kilometer. Mau tidak mau, mengerjakan tugas sekolah di atas batu pun terpaksa dijalani para pelajar yang ada di desa terpencil itu.
"Sinyal ini ada di satu titik saja yaitu di atas batu yang ada di Kali Lowolaka ini. Kalau kita pindah dari batu itu pasti sudah hilang sinyalnya," ujar salah seorang siswa di daerah setempat, Risna, Minggu, 8 Agustus 2021.
Berburu jaringan internet juga menjadi rutinitas pelajar di Desa Tanampulu, Banawa Selatan, Donggala, Sulawesi Tengah (Sulteng). Desa Tanampulu merupakan salah satu desa terisolir dari jaringan telekomunikasi yang berada sekitar 65 kilometer dari ibu kota Sulteng, Palu.
Para siswa harus menuju salah satu spot sinyal internet demi bisa mengakses pembelajaran. Kabar baiknya, Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo) mulai melakukan pembangunan tower Base Transceiver Station (BTS) untuk membuka akses jaringan telekomunikasi di desa tersebut.

Pelajar di Desa Tanampulu belajar daring di salah satu spot sinyal internet. Foto: MI/Briyanbodo Hendro.
Kejenuhan belajar jarak jauh, jadi musuh lainnya dalam upaya mempertahankan pendidikan di tengah pandemi. Organisasi LaporCovid19 bersama Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI) melakukan survei terkait persepsi orang tua ketika anak melakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Sebanyak 23.015 orang tua mengikuti survei tersebut.
Kolaborator Ilmuwan LaporCovid19, Dicky Pelupessy menyampaikan siswa PAUD yang bosan PJJ mencapai 54,88 persen. Kemudian, SD 52,98 persen, SMP 48,14 persen, dan SMA 44,15 persen.
Menurut dia, tingkat kebosanan anak juga dipengaruhi oleh seberapa sering orang tua mendampingi anak. Terlihat dari besarnya persentase anak PAUD yang merasa kebosanan.
Baca: Jalan Gelap Disabilitas, Nyalakan Terang di Manchester
Butuh Optimisme
Mendikbudristek Nadiem Makarim mengatakan, pelajaran utama yang bisa diambil dari sederet pengalaman pembelajaran di masa pandemi ini yaitu betapa tangguhnya bangsa Indonesia. Dengan segala tantangan yang ada, kata dia, bangsa Indonesia bisa beradaptasi terhadap metode belajar di waktu yang sangat cepat.Nadiem menilai, kemampuan bangsa Indonesia bergotong royong dan beradaptasi untuk tetap melanjutkan pembelajaran di masa sulit ini sangat luar biasa. Begitu pula partisipasi orang tua dengan segala keterbatasan untuk membantu anak-anak belajar.
"Itu pembelajaran luar biasa yang bisa saya ambil. Berbagai macam tantangan dan kesulitan, masyarakat punya resiliensi yang baik," ujar Nadiem dalam program Newsmaker Medcom.id.
Nadiem mengatakan, masa pandemi juga memperjelas berbagai macam isu atau permasalahan di dunia pendidikan Tanah Air. Contohnya, terkait fakta adanya kesenjangan digital yang benar-benar terlihat dari pola PJJ akibat pandemi.
Nadiem memastikan pemerintah tak diam dan menutup mata terkait kondisi yang ada. Pemerintah terus berupaya maksimal memastikan pemerataan infrastruktur untuk mendukung kondisi pembelajaran, baik dalam situasi pandemi, maupun setelahnya.
Nadiem menyebutkan, setidaknya tiga hal yang menjadi tantangan bagi dunia pendidikan Indonesia di masa pandemi, maupun setelahnya. Pertama, soal bonus demografi.
"Ini bisa menjadi risiko kalau tidak terbuka lapangan pekerjaan. Ini menjadi suatu hal di benak pikiran saya dan menjadi suatu isu yang setiap hari harus kita pecahkan permasalahan itu," kata Nadiem.
Baca: Kisah Mahasiswa Unpad Terjun Langsung Jadi Relawan Vaksinasi
Kedua, perubahan iklim. Nadiem menyebut dampak perubahan iklim sudah amat terasa dan mengancam kesehatan manusia. Lompatan besar untuk memitigasi dampak perubahan iklim pun harus dilakukan. Misalnya, lewat berbagai riset di bidang energi.
Ketiga, tantangan teknologi. Nadiem menyebut teknologi merupakan kesempatan sekaligus disruptor yang tidak bisa dihindari. Suka atau tidak suka, kemajuan teknologi tak bisa dibendung.
Menurut Nadiem, butuh optimisme agar pendidikan Indonesia bisa bertahan sekaligus bangkit dari situasi serba sulit akibat pandemi. Nadiem yakni peluang Indonesia keluar dari situasi krisis ini masih sangat besar.
"Tergantung apakah kita akan menggunakan kesulitaan ini sebagai tantangan dan motivasi menjadi lebih baik. Ujung-ujungnya ada di tangan semua Indonesia," ungkap Nadiem.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News