"Banyak temuan dan riset yang memiliki kesimpulan demikian, bahwa anak yang menjadi korban kejahatan seksual saat kecil, jika tidak tertangani dengan baik maka kelak dewasa bisa menjadi predator seks yang menjahati anak-anak," kata Kepala Bidang Pemantauan dan Kajian Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Reza Indragiri Amriel, di Jakarta, Rabu, 8 Januari 2020.
Meski demikian, tidak semua anak berlaku demikian. Tetap ada daya lenting yang jika terbangun maka dapat menghindarkan yang bersangkutan pada proses pembentukan perilaku jahat. Indra menjelaskan, ada sejumlah mekanisme korban untuk menjadi pelaku.
Di antaranya perasaan negatif atau amarah yang dipindah dari subjek otentik ke subjek pengganti. "Kedua, kesan atau sensasi positif akibat seks dini. Pengulangan sebagai ekspresi mencandu akan seks yang telah memunculkan kesan positif," ujar Indra.
Ketiga, adalah kebingungan bawah sadarnya yang mendorong korban yang nantinya melakukan perbuatan serupa sebagai cara menemukan jawaban atas kebingungan tersebut. "Sayangnya banyak korban kejahatan seksual banyak yang enggan mengaku, karena malu. Ini menggetirkan," jelas dia.
Meski demikian, Indra enggan menyebut predator seks sebagai psikopat, karena sebutan itu merupakan ekspresi keputusasaan seseorang dalam memahami kondisi individu.
Sebelumnya, seorang WNI yang juga mahasiswa doktoral di Inggris, yakni Reynhard Sinaga, dihukum seumur hidup oleh Pengadilan Manchester atas tindak perkosaan dan serangan seksual terhadap 48 korban pria dalam 159 kasus.
Tindak kejahatan tersebut dilakukan selama rentang waktu sekitar 2,5 tahun. Hakim mengatakan Reynhard harus menjalani 30 tahun hukuman penjara sebelum boleh mengajukan pengampunan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News