Nadiem mengatakan akses mahasiswa penyandang disabilitas pada pendidikan tinggi dijamin dalam Peraturan Menristekdikti Nomor 46 Tahun 2017 tentang Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus di Perguruan Tinggi. Perguruan tinggi tidak boleh menolak mahasiswa penyandang disabilitas belajar di kampusnya.
Data Pusat Layanan Pembiayaan Pendidikan (Puslapdik), sejak 2019 sampai 2022 mencatat 57 penyandang disabilitas memperoleh KIP Kuliah. Mereka tersebar di berbagai perguruan tinggi akademik dan vokasi, baik negeri maupun swasta. Mereka terdiri dari penyandang disabilitas fisik, sensorik, mental, maupun intelektual.
Salah seorang penyandang disabilitas yang memperoleh KIP Kuliah ialah Jilly Floreta, mahasiswa Program Studi Manajemen di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Penyandang disabilitas mental berupa Bipolar Affective Disorder ini menerima KIP Kuliah pada 2020.
Dikutip dari mayoclinic.org., Bipolar Affective Disorder adalah salah satu gangguan mental di mana penderitanya kerap mengalami perubahan suasana hati yang seringkali tidak terdeteksi dan terkontrol. Penderita bisa merasa bahagia atau sedih tiba-tiba atau bahkan kedua perasaan itu seringkali tercampur aduk menjadi satu.
Jilly mengatakan dirinya kerap mengalami depresi, mental down, atau gangguan kecemasan tiba-tiba. “Saya kerap cemas berlebihan, tiba-tiba berubah mood menjadi down atau sebaliknya tanpa diawali gejala, walaupun secara perlahan saya kini sudah bisa sedikit mengontrolnya,“ kata mahasiswa yang saat ini akan memasuki semester 6 dikutip dari laman Puslapdik Kemdikbud, Kamis, 12 Januari 2022.
Jilly mengatakan gangguan mental yang diidapnya tidak terlalu mengganggu proses perkuliahannya. “Performa saya di kelas baik, tugas-tugas bisa saya selesaikan, namun ada waktu tiba-tiba saya down, tidak bisa ngapa-ngapain, termasuk ngerjain tugas, benar-benar enggak bisa, saya harus istirahat beberapa waktu sampai mood kembali muncul,“ beber Jilly.
Dalam hal prestasi, pada semester 5, IPK Jilly mencapai 3,79 dan saat duduk di bangku SMK Ekonomi Akuntansi, Jilly mampu menempati ranking 10 besar.
Tinggalkan semua tugas dan menyendiri
Salah satu yang memicu munculnya ketidakstabilan emosi itu ketika banyak tugas menumpuk, sementara ada kegiatan lain yang harus dikerjakan, seperti ikut organisasi mahasiswa. Dalam situasi penuh tekanan seperti itu, kondisi fisik Jilly terasa lelah dan lantas berdampak pada situasi emosi yang berubah ekstrem.“Kalau sudah begitu, solusinya saya tinggalkan semuanya sementara, menyendiri, pulang ke kost-an,“ cerita Jilly.
Beruntung, UNY memiliki lembaga bimbingan dan konseling mahasiswa. Melalui lembaga itu, Jilly memperoleh bimbingan terkait cara mengontrol mood, seperti ikut organisasi
“Saya juga punya beberapa teman dekat yang tahu betul kondisi saya dan saya percayai ketika suasana hati saya tiba-tiba berubah," kata dia.
Dalam hal bergaul dengan teman-temannya, Jilly lebih banyak mendengar ketimbang aktif berbicara. Namun, ketika gangguan emosinya muncul, dia memutuskan menyendiri atau pulang ke indekos.
“Terkadang ada teman yang berbicara soal kondisi mental, saya meresponsnya dengan diam dan langsung memisahkan diri serta menyendiri,“ kata Jilly yang ayahnya berprofesi sebagai tukang becak di Purworejo itu.
Tidak punya pendamping
Penyandang disabilitas lain yang memperoleh KIP Kuliah adalah Helda Wati, mahasiswi Program Studi Pendidikan Guru Anak Usia Dini Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin. Penerima KIP Kuliah Tahun 2020 ini menyandang disabilitas intelektual, yakni gangguan kemampuan belajar atau fungsi intelektual di bawah rata-rata.Dengan gangguan tersebut, Helda lambat menghadapi materi perkuliahan, baik saat mendengar paparan materi dari dosen atau membaca literatur. Dia perlu penjelasan rinci dan berulang-ulang agar mampu memahami materi perkuliahan.
“Waktu semester 1 sampai 4 dulu, ada teman yang mendampingi memberi penjelasan soal materi kuliah sampai hal-hal teknis, seperti kapan pengumpulan tugas, jenis penugasan, dan sebagainya. Semester 5 kemarin tidak ada lagi teman, jadi saya kesulitan,“ kata Helda yang saat diwawancarai lewat telepon juga didampingi ibunya.
Helda mengeluhkan sistem penilaian tugas yang disamakan dengan mahasiswa lain yang normal. Namun, Helda bersyukur ada bimbingan dari kampus walaupun tidak sering.
Dia bersyukur memperoleh KIP Kuliah dan berharap lulus kuliah tepat waktu sesuai durasi pemberian KIP Kuliah.
Rahmiati, ibu Helda mengakui ada kesulitan bagi anaknya saat di kampus.
“Kemarin, selama kuliah daring dari rumah, saya bisa membantu menjelaskan hal-hal yang sifatnya teknis, tapi sekarang setelah kuliah offline di kampus, saya tentunya tidak bisa mendampingi," kata dia.
Rahmiati bersyukur Universitas Lambung Mangkurat hanya mensyaratkan IPK minimal 2,75 bagi Helda. “Saat ini, IPK Helda lumayan, yakni 3,5, tapi tanpa didampingi di kampus, saya khawatir nilai Helda turun,“ ujar Rahmiati yang suaminya berprofesi sebagai driver motor box.
Rahmiati mengungkapkan untuk pergi ke kampus, Helda mesti diantar jemput. “Helda tidak bisa jalan sendiri, terutama saat menyebrang jalan, dulu sempat jalan sendiri, ketabrak. Akhirnya kami trauma tak mau melepas Helda jalan sendiri," cerita Rahmiati.
Baca juga: 20 PTN yang Menampung Peserta KIP-K Terbanyak |
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News