Dikutip dari laman Zenius, berikut sejarah pers di Tanah Air yang menjadi cikal-bakal lahirnya Hari Pers Nasional.
Awal mula pers di Indonesia
Pers pertama kali dibawa oleh orang-orang Belanda ke Jakarta yang kala itu masih bernama Batavia. Lebih tepatnya, ketika Gustaaf Willem Baron van Imhoff diangkat menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada 1743.Setahun setelah pelantikannya, Gustaaf mengizinkan penerbitan surat kabar perdana di Batavia. Koran tersebut bertajuk Bataviasche Nouvelles en Politique Raisonnementen atau Berita dan Penalaran Politik Batavia.
Mulanya, Pemerintah Belanda menganggap pers hanya sebagai ladang uang. Lambat laun, mereka mulai merasa masyarakat semakin membutuhkan informasi. Hal ini lantas dimanfaatkan untuk menyuarakan kabar pemerintah atau kelompok tertentu.
Hingga akhirnya, surat kabar dan majalah kian menjamur di era 1900-an. Tak hanya milik Belanda, orang Indonesia mulai menerbitkan surat kabar.
Tirto Adhi Soerjo merupakan orang Indonesia pertama yang mencetuskan surat kabar bernama Medan Prijaji pada 1910. Eksistensi koran ini menjadi ujung tombak pers menyuarakan kebebasan berpendapat.
Sederet tokoh nasional turut menerbitkan surat kabar. Mereka, ialah Tjokroaminoto, Ki Hadjar Dewantara, dan Soekarno.
Tak hanya mencetuskan surat kabar, Ki Hadjar Dewantara bersama Tjipto Mangunkusumo juga mendirikan wadah persatuan pers nasional pada 1924. Asosiasi bernama Indische Journalisten Bond ini menjadi perkumpulan wartawan pertama di Indonesia.
Sembilan tahun kemudian, atau lebih tepatnya pada 1933, Mohammad Yamin dan WR Supratman mendirikan Persatoean Djoernalis Indonesia (PERDI) di Solo. Organisasi ini didedikasikan sebagai wadah pikiran masyarakat untuk mendorong perjuangan dan persatuan bangsa, tanpa takut dikekang penjajah.
Lahirnya Hari Pers Nasional
Kondisi pers di Indonesia kian melesat usai negeri ini merdeka pada 17 Agustus 1945. Pulau-pulau besar di Tanah Air mulai memiliki surat kabar sendiri, di antaranya Jawa Shinbun, Borneo Shinbun, Sumatra Shinbun, dan Sulawesi Shinbun.Maraknya penerbitan media massa, membuat pencari berita kian menjamur di lapangan. Alhasil, tercetuslah inisiatif untuk menyatukan wartawan.
Pimpinan surat kabar dan wartawan sepakat mengadakan pertemuan di balai pertemuan Sono Suko—sekarang menjadi Gedung Monumen Pers—pada 9-10 Februari 1946. Mereka membahas solusi atas kendala yang dihadapi dunia pers dan bertekad untuk menyatukan kekuatan sebagai penyedia informasi.
Mereka juga menginginkan suatu wadah yang bertujuan menghilangkan sisa-sisa penjajah dan menegaskan kedaulatan rakyat. Alhasil, terbentuklah organisasi wartawan Indonesia bernama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Menyadari pentingnya peran pers, pemerintahan Soeharto akhirnya menetapkan hari jadi PWI sebagai Hari Pers Nasional. Penetapan pada 23 Januari 1985 ini termaktub dalam Keputusan Presiden RI Nomor 5 Tahun 1985.
Kebebasan pers di tiap era pemerintahan
Kesadaran pemerintah atas pentingnya peran pers di Indonesia seolah menjadi pedang bermata dua. Mereka memang mengapresiasi, namun mereka juga merampas kebebasan pers.Awalnya, pers diberi hak untuk berbicara, menyiarkan, atau menerbitkan sebuah informasi tanpa pengekangan dan penyalahgunaan tanggung jawab yang dimiliki. Kebebasan ini juga dijamin oleh Presiden Soekarno dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 28F.
Menteri Penerangan kala itu, Amin Sjarifuddin, semakin menegaskan pers harus merdeka. Tak cuma menyampaikan pikiran penguasa, melainkan juga menjadi corong apirasi masyarakat yang dianggap bak ‘nyawa’ pemerintah.
Namun, Presiden Soekarno mengubah sistem pemerintahan demokrasi liberal menjadi demokrasi terpimpin pada 28 Oktober 1956. Akibatnya, pers diminta mengikuti aturan sesuai prinsip Nasionalisme, Agama, dan Komunisme (Nasakom). Soekarno bahkan mengancam akan membredel media yang berani melanggar prinsip tersebut.
Masa kelam pers Indonesia terus berlanjut hingga era Orde Baru. Rezim Soeharto membredel 12 media cetak lantaran mengkritisi praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) di pemerintahannya.
Tak cuma itu, rezim Soeharto juga mencabut Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) beberapa media massa pada 1990-an. Izin penerbitan informasi juga semakin diperketat.
Pemerintah kala itu mendikte media cetak terkait hal-hal yang boleh dan tak boleh dipublikasikan. Penerbitan surat kabar harus memiliki SIUPP.
Setelah Orde Baru berakhir, pers mulai bangkit dan kembali bersikap kritis dalam masa Reformasi. Era ini membuat pers menjadi lebih leluasa memfasilitasi opini publik dan menyebarkan informasi.
Hingga akhirnya, muncullah berbagai media cetak dan elektronik baru, mulai dari koran, majalah, sampai televisi swasta. Reformasi juga melahirkan Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 yang mengatur tentang pers.
Beleid tersebut menjamin kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara. Sensor, pembredelan, atau larangan siaran juga dijamin tak akan ‘menghantui’ pers lagi. (Nurisma Rahmatika)
Baca: Nadiem Ajak Insan Pers Kuatkan Kolaborasi Cerdaskan Bangsa
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News