Ilustrasi pencari kerja di job fair. MI/Ramdani
Ilustrasi pencari kerja di job fair. MI/Ramdani

Pakar Ekonomi Ketenagakerjaan IPB Kritik Job Fair Cuma Jadi Ajang Kumpulkan Lamaran

Renatha Swasty • 25 Juni 2025 12:55
Jakarta: Job fair atau bursa kerja menjadi salah satu strategi pemerintah mempertemukan pencari kerja dengan pemberi kerja. Kegiatan ini rutin digelar oleh dinas tenaga kerja daerah bekerja sama dengan kampus maupun pihak swasta sebagai ajang rekrutmen massal.
 
Job fair kerap dianggap solusi instan menjawab tantangan pengangguran. Dosen Ekonomi Ketenagakerjaan IPB University, Tanti Novianti, menilai job fair mesti didesain strategis, inklusif, dan terintegrasi dengan program ketenagakerjaan yang lebih luas agar berdampak nyata. 
 
Dia menuturkan tujuan utama job fair adalah menjembatani ketidakseimbangan informasi antara pencari kerja dan perusahaan. Sehingga, perusahaan dapat menemukan kandidat sesuai kebutuhan dan pencari kerja mendapatkan lowongan sesuai kualifikasi mereka. 

Idealnya, job fair dirancang sebagai solusi mismatch tenaga kerja. Namun, job fair kerap kali hanya menjadi tempat menampung surplus pencari kerja ketimbang benar-benar menjawab kekurangan tenaga kerja di industri. 
 
“Job fair lebih kepada solusi jangka pendek, bukan obat mujarab pengangguran,” ujar Tanti, Rabu, 25 Juni 2025. 
 
Ia mengusulkan job fair bersifat tematik, berfokus pada industri tertentu. Dari sisi desain acara, job fair nasional sering tidak memiliki fokus sektor atau kualifikasi jelas, sehingga profil pelamar yang datang tidak sesuai kebutuhan industri.
 
“Karena itu, desain penyelenggaraan job fair harus berbasis data, baik dari sisi pasar kerja maupun profil penganggur,” ujar dia. 
 
Wakil Dekan Bidang Sumberdaya, Kerjasama, dan Pengembangan Sekolah Bisnis IPB University itu menyebut job fair tidak akan menyelesaikan masalah pengangguran tanpa dibarengi penciptaan investasi dan peluang kerja baru. Dia menekankan dibutuhkan kolaborasi kuat antara pemerintah pusat dan daerah, dunia usaha, dan perguruan tinggi.
 
Baca juga: Job Fair di Bekasi Ricuh, Cerminan Ketidaksiapan Pemerintah Hadapi Pencari Kerja 

Tanti mengatakan penyelenggaraan job fair harus melihat jauh ke depan, bukan sekadar formalitas. Perencanaan harus mempertimbangkan analisis kebutuhan, simplifikasi birokrasi, dan integrasi dengan pelatihan vokasi hingga kebijakan investasi tenaga kerja.
 
Job fair juga harus inklusif dan produktif bagi semua pihak. Kehadiran fasilitas seperti wawancara on-site, konseling karier, dan talkshow inspiratif menjadi nilai tambah. 
 
Aksesibilitas bagi penyandang disabilitas juga penting, termasuk adanya kurasi lowongan kerja yang nyata dan sesuai kebutuhan industri. Keterlibatan industri sejak tahap perencanaan juga kunci penting. 
 
Pemerintah disarankan bermitra dengan asosiasi seperti Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan Kamar Dagang dan Industri (Kadin), serta mengoptimalkan regulasi seperti wajib lapor lowongan kerja. “Peluang kerja sebaiknya masuk dalam sistem bursa kerja nasional,” tutur dia. 
 
Tanti mengatakan job fair seharusnya tidak berdiri sendiri, tetapi mesti terintegrasi dengan pelatihan tenaga kerja berbasis kebutuhan industri. Dia mencontohkan model dual-track di Jerman dan pelatihan intensif di perusahaan-perusahaan Jepang yang bisa ditiru.
 
Pemanfaatan teknologi turut menjadi perhatian utama. Platform digital dan penggunaan big data serta AI matching mampu meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan job fair. Teknologi juga memudahkan segmentasi peserta dan pengelolaan acara.
 
Dia mengatakan segmentasi peserta perlu diperjelas. Misalnya, lulusan SMK dan fresh graduate yang angka penganggurannya tinggi, serta kelompok disabilitas yang membutuhkan akses dan lowongan kerja khusus.
 
“Job fair idealnya menjadi pintu masuk ke pelatihan lanjutan dan pendampingan kerja, bukan hanya mengumpulkan lamaran,” kata dia. 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan