Perempuan kelahiran Teluk Nilau, Jambi itu tak segan menerobos lebatnya hutan, dan derasnya arus sungai demi memberikan pelatihan pendidikan anak usia dini. Sebab ia hafal betul, tak selamanya hanya bisa mengandalkan pemerintah untuk menbuat program satu desa satu PAUD terwujud.
"Sekarang program pemerintah itu kan satu desa satu PAUD. Sementara guru-guru PAUD banyak yang tidak dipersiapkan untuk menjadi guru PAUD," kata Fadhilah kepada Medcom.id, Minggu, 24 November 2019.
Dengan berbekal ilmu pendidikan anak usia dini yang dimiliki, ia mencoba berbagi pengalaman dan ilmu kepada calon-calon guru PAUD di pelosok. Terutama mereka yang terpaksa diceburkan mengajar PAUD, meski sebagian besar hanya mengantongi ijazah SMA
"Mereka dipaksa ikut program PAUD pemerintahan daerah di desa itu, mereka banyak yang tamat SMA lalu mengajar, padahal mereka tidak punya sama sekali bekal untuk jadi guru PAUD," jelas Fadhilah.
Ia sadar, tak bisa menunggu pemerintah turun langsung menyasar desa-desa. Terlebih kondisi geografis wilayah Tanjung Jabung Barat dikelilingi sungai-sungai, perkebunan sawit bahkan hutan. Kondisi tak wajar itu membuat siapapun butuh waktu tak sebentar untuk menuju ke sana.
Assesor Badan Akreditasi Nasional (BAN) PAUD itu menceritakan, perjuangannya menyusuri desa demi desa di Tanjung Jabung Barat. Tak jarang ia harus melewati gelapnya malam, jalanan berdebu yang belum teraspal.
Bahkan ada salah satu desa yang hanya bisa ditempuh dengan Pompong alat transportasi sejenis perahu motor. Sekali perjalanan bisa memakan waktu hingga 6-7 jam.

Fadhilah Aisha, Guru PAUD di Tanjung Jabung Barat, Jambi. Foto: Dok. Pribadi
Perempuan yang pertama kali menjadi guru TK itu memikul satu keresahan. Jangan sampai anak-anak harapan dan tumpuan masa depan bangsa mendapatkan pola pengajaran yang salah, hanya karena gurunya tidak mendapatkan bekal ilmu pengajaran pendidikan anak usia dini yang semestinya.
"Mengajar usia dini ini tidak hanya tepuk tangan, nyanyi tapi ada hal hal yang lebih penting, penanaman kharakter dan akhlak. Kamudian pembentukan fisik, motorik, dan ada tahapan-tahapan tertentu lainnya yang dibutuhkan anak," jelas pengurus pusat Ikatan Guru Pendidikan Anak Usia Dini itu.
Hebatnya lagi, semua perjuangan yang ia lakukan semua dilakukan atas biaya pribadi. Fadhilah rela merogoh kantong pribadinya dan sama sekali tak berharap imbalan ataupun upah selama bakti memberikan pelatihan guru PAUD ke desa-desa tersebut.
Ia bahkan tak ingin berharap banyak dari pemerintah, meski hanya sekadar apresiasi. "Saya pindah pindah ke desa ini atau kecamatan ini dan di dusun, jadi itulah yang saya lakukan selama dua tahun ini. Turun ke desa-desa untuk memberikan pelatihan secara gratis," jelas Fadhilah.
Ia sadar, mengandalkan hanya dari gajinya sebagai guru honorer saja tak akan cukup membiayai kegiatannya itu. Untuk itu, di samping mengajar, ia membuka usaha membuat kue.
Dari hasil usaha kecil-kecilannya itulah, sebagian keuntungan ia sisihkan untuk biaya operasional saat turun ke desa-desa. Bagi perempuan kelahiran 12 Desember 1977 itu, materi tidak ada artinya lagi jika tidak memberikan manfaat kepada orang lain.
Tekadnya bulat, Fadhilah tidak akan berhenti meski minim dukungan dari pemerintah. Atas upaya dan perjuangannya itu, beberapa kali Fadhilah diganjar penghargaan di tingkat nasional sebagai guru PAUD berprestasi.
Baginya, penghargaan itu hanya bentuk dorongan kecil, agar tak patah semangat untuk terus berjuang demi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di Bumi Merangin. "Apa yang saya dapat dan sudah beberapa kali ke nasional juara guru prestasi dan ikut pelatihan-pelatihan nasional," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News