Eugenia Cheng. DOK The New York Times
Eugenia Cheng. DOK The New York Times

Eugenia Cheng, Mengubah Perspektif Matematika Menakutkan Jadi Menyenangkan Lewat Makanan

Renatha Swasty • 05 September 2025 13:04
Jakarta: Selama ini matematika sering dianggap rumit, penuh angka dan rumus yang sulit dipahami. Namun, seorang matematikawan bernama Eugenia Cheng, mematahkan stereotip tersebut.
 
Dia menunjukkan matematika tidak selalu tentang hitungan kaku. Melainkan, cara berpikir yang bisa membuat kita memahami dunia dengan sudut pandang berbeda, seperti karya tulisnya yang membahas matematika lewat makanan. 
 
Dr. Cheng ingin memperkenalkan matematika bisa dekat, menyenangkan, bahkan membantu kita melihat hal-hal yang tampak sederhana tetapi ternyata menyimpan makna lebih dalam. Simak bagaimana ia membahas matematika melalui makanan, seni, hingga konsep kesetaraan dalam kehidupan dan inspirasi di balik bukunya melalui wawancaranya dengan The New York Times yang dirangkum di sini.

Dulu, Eugenia Cheng adalah profesor tetap di University of Sheffield, Inggris, sebelum akhirnya mengundurkan diri pada 2016. Sejak itu, ia mengajar di School of the Art Institute of Chicago dan menulis beberapa buku matematika populer. Salah satunya membahas matematika lewat makanan. Selain itu ia juga membahas konsep gender melalui kacamata matematika, sebuah perspektif langka karena hanya sedikit perempuan di bidang ini.
 
Buku terbarunya berjudul “Unequal: The Math of When Things Do and Don’t Add Up” (Tak Setara: Matematika tentang Kapan Sesuatu Menjadi Logis dan Tidak”). Buku ini membahas persamaan, tetapi bukan sekadar mengulang rumus-rumus yang dulu kita pelajari di sekolah.
 
Dalam buku ini, Dr. Cheng berpendapat persamaan (yang secara sederhana berarti pernyataan bahwa dua hal itu sama) bisa menjadi pernyataan mendalam tentang pilihan yang kita buat terkait apa yang dianggap sama atau berbeda.
 
Misalnya, 2 × 3 memang sama dengan 3 × 2. Tapi dua bungkus berisi tiga kue berbeda dengan tiga bungkus berisi dua kue. Sebuah kubus yang digambar dari sisi depan juga tampak berbeda jika digambar dari sudut miring, meskipun kita tahu keduanya bentuk yang sama.
 
“Hampir semua hal bisa dianggap sama dan berbeda pada saat yang bersamaan,” tulis Dr. Cheng. “Dan keputusannya bergantung pada kita.”
 
Alasan Dr. Cheng meninggalkan posisi profesor tetap dan memilih mengajar mahasiswa seni hingga menulis buku karena ingin membantu mereka yang merasa gagal dengan matematika. 
 
“Saat menjadi profesor tetap, saya membantu orang yang sudah cukup jago matematika.” “Tapi saya ingin menjangkau mereka yang merasa gagal karena sistem pendidikan,” jelasnya.
 
Baca juga: MBG Tingkatkan Kemampuan Matematika Siswa, Ini Penjelasan Wamen Stella Christie 

Ia pernah mengusulkan kelas matematika berbasis seni liberal, tetapi universitas tidak mengizinkannya. Hal itu membuat Dr. Cheng memutuskan menulis buku matematika pertamanya melalui makanan.
 
“Saya menyadari bahwa hampir semua konsep matematika bisa dijelaskan lewat metafora makanan,” kata Dr. Cheng. Melalui bukunya ia menunjukkan matematika bisa seru, mudah diakses, bahkan “lezat.” Setelah bukunya terbit Dr. Cheng merasa bahwa ia tidak harus jadi profesor penuh waktu lagi.

Pengalaman Dr. Cheng mengajar matematika di sekolah seni

Mahasiswa di sekolah seni umumnya tidak datang dengan tujuan untuk belajar matematika. Beberapa di antaranya bahkan mengaku memilih kelas yang ditawarkan Eugenia Cheng karena dianggap sebagai pilihan “paling tidak buruk” dibandingkan dengan mata kuliah lain.
 
Dari pengalaman Cheng, terdapat pola yang cukup jelas mengenai alasan para mahasiswa ini sebelumnya kurang menyukai matematika. Mereka merasa hanya diminta menghafal hal-hal yang tidak berguna, diberikan aturan tanpa penjelasan, atau dipermalukan karena dianggap “bodoh” dalam matematika.
 
“Padahal, matematika tidak sekaku itu. Tidak hanya soal benar atau salah. Matematika bersifat abstrak, kreatif, dan penuh ide,” kata Dr. Cheng. “Hal-hal ini yang mereka belum pernah temui sebelumnya, tapi bagi saya justru itulah esensi matematika”.
 
Menariknya, banyak mahasiswa yang semula membenci matematika akhirnya justru bersemangat ketika diperkenalkan pada cara pandang tersebut. Sebagian mulai mempertanyakan hal-hal mendasar, misalnya apakah 1 + 1 selalu harus sama dengan 2, dan mereka mampu membayangkan skenario berbeda.
 
Saat Cheng menjelaskan bahwa dalam dunia matematika ada kondisi di mana hal itu benar, para mahasiswa menunjukkan antusiasme yang tinggi. Sebaliknya, orang yang sejak awal merasa jago matematika justru sering menolak ide ini.

Inspirasi Dr. Cheng menulis “Unequal”

Eugenia Cheng pernah mengalami sebuah perdebatan sengit yang berkesan. “Saya biasanya bisa berdiskusi dengan menemukan titik temu, tapi kali ini gagal total” kata Dr. Cheng.
 
“Kami membahas tentang keadilan, apa artinya memperlakukan orang secara setara. Orang ini bilang hanya ada satu arti setara: diperlakukan persis sama”. “Saya pikir, matematika punya cara yang lebih halus dalam memahami kesetaraan” tambahnya.
 
Ia menekankan isu ini jarang sekali dibicarakan. Padahal, dalam kehidupan sehari-hari, manusia selalu membuat pilihan tentang apa yang dianggap sama dan apa yang berbeda. Menurut Cheng, penting bagi kita untuk menyadari bahwa setiap pilihan tersebut pada dasarnya merupakan keputusan yang kita buat sendiri.
 
Baca juga: Matematika Bikin Mumet, Abdul Mu'ti: Mitos! 

Dalam bukunya, Eugenia Cheng memperkenalkan beberapa cabang matematika yang menunjukkan cara berbeda memahami kesetaraan. Ada teori kategori, cabang matematika yang punya ide radikal: ketika mempelajari sesuatu, kita tidak harus tahu “apa” benda itu, tapi bagaimana ia berinteraksi dengan hal lain. Jadi fokusnya adalah hubungan, bukan sifat asli. Dan salah satu hubungan terpenting adalah “kesamaan” atau “kesetaraan.” Kapan sebuah hubungan cukup kuat untuk dianggap sama?
 
“Contoh lucu yang saya suka: jika kamu harus menggantikan peran seseorang di kantor sementara mereka cuti, biasanya tidak masalah seperti apa penampilanmu. Kecuali kalau pekerjaan itu adalah menjadi pemeran pengganti!” kata Dr. Cheng.
 
Ada juga teori simpul yang mempelajari “kesimpulan.” Kalau kamu mengikat tali dan mengayunkannya, simpul itu bisa tampak berbeda dari berbagai sudut. Pertanyaannya: kapan simpul yang kusut itu sebenarnya masih simpul yang sama?
 
Dr. Cheng juga membahas teori manifold, yaitu menyusun bentuk-bentuk kecil dan sederhana menjadi bentuk yang rumit. Dr. Cheng mengatakan “Ada situasi di mana sesuatu tampak sederhana dari dekat, tapi dari jauh terlihat sangat kompleks". “Ini mirip dengan kehidupan, di mana dampak tindakan kita dari dekat bisa terlihat sederhana, tapi jika dilihat luas, bisa jauh lebih rumit,” tambahnya.
 
Banyak orang beranggapan matematika murni hanya mengawang-awang dan tidak terkait dengan kehidupan sehari-hari. Namun, bagi Eugenia Cheng, matematika sejatinya adalah cara berpikir, bukan sekadar mengerjakan soal, melainkan melatih otak melihat pola dan logika.
 
Pengalaman menulis buku pertamanya yang membahas makanan membuat Cheng menyadari pola pikir matematika bisa diterapkan di mana saja, mulai dari memahami perdebatan hingga mencari alasan mengapa kereta terlambat. Baginya, hal ini terasa seperti memiliki kekuatan super.
 
Ia menekankan setiap sistem matematika berawal dari keyakinan dasar yang kemudian dikembangkan. Hal serupa juga terjadi dalam kehidupan: setiap orang memiliki logika masing-masing yang berpijak pada keyakinannya sendiri. Dengan memahami hal itu, diskusi bisa berjalan lebih baik, alih-alih hanya saling berteriak tanpa arah.
 
Melalui buku terbarunya, Eugenia Cheng ingin mengajak pembaca melangkah lebih jauh. “Buku ini membahas topik-topik yang cukup menantang,” kata Dr. Cheng. “Salah satu masalah dalam matematika adalah anggapan bahwa kalau kita tidak bisa mengerjakannya sendiri. Padahal, kamu tetap bisa menikmati musik meski tidak bisa memainkan alat musik. Kamu tetap bisa ke galeri meski tidak bisa melukis,” tambahnya.
 
Menurutnya, matematika pun bisa dinikmati tanpa harus mahir menghitung. Cheng berharap pembaca dapat melihat bagaimana matematika berjalan, apa yang membuatnya menarik, serta berbagai kemungkinan yang ditawarkannya.
 
“Saya ingin orang bisa “menikmati” matematika,” kata Dr. Cheng. “Saya tidak berharap semua orang paham sampai akhir. Justru itu intinya: kalau kamu hanya membaca hal-hal yang kamu mengerti, bagaimana kamu bisa berkembang?” (Alfi Loya Zirga)
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan