Bagi Lian, tradisi hambor ini tidak hanya dipakai dalam konteks resolusi konflik yang terjadi dalam sesama masyarakat Manggarai tetapi digunakan dalam tataran yang lebih luas. Sebab, Hambor bisa digunakan untuk merajut perdamaian dengan semua orang yang hidup dan tinggal di Manggarai dengan latar belakang agama, suku, budaya, dan etnik.
Saat ini di Manggarai ada banyak orang yang datang dari daerah lain dengan latar belakang budaya yang berbeda. Tentu, akan ada modifikasi dan revitalisasi.
Namun, hambor menjadi simpul perbedaan dalam keberagaman. Jadi, hambor sebenarnya memiliki kontribusi yang krusial untuk mengembangkan perdamaian di tingkat lokal, misalnya perdamaian antarumat beragama di Manggarai.
"Muncul konsep
hambor Inter-religious yang berpijak pada spirit perdamaian bersama dalam berbagai bidang kehidupan,” katanya.
Dalam konteks hukum positif, kata Lian, dari penelitian ini juga memberikan penyadaran bahwa tidak setiap permasalahan harus diselesaikan secara hukum positif. “Kami memiliki tradisi resolusi konflik yang lebih menekankan persaudaraan dan kekeluargaan, namun tetap memperhatikan keadilan bagi pelaku dan korban,” katanya.
Soal sumber riset disertasinya, Lian menggunakan kajian pustaka dan riset lapangan. Kajian pustaka lebih kepada pergeseran kajian filsafat dari modernitas kepada postmodernitas.
Ia mengambil pemikiran filsuf Francois Lyotard dan Pierre Bourdieu. Lalu, dari sumber data penelitian lapangan yang berlangsung sejak Juli 2020 hingga saat ini, ia melakukan wawancara dengan berbagai tokoh adat, tokoh budaya, tokoh agama, pemerintah, akademisi, dan tokoh-tokoh muda yang ada di Manggarai.
“Dari mereka saya memperoleh banyak informasi tentang Hambor dan ternyata tradisi ini sangat kaya dan memiliki makna yang sangat dalam terutama untuk orang-orang Manggarai,” ungkapnya.