Jakarta: Ada empat ideologi yang muncul dalam pertarungan Pilpres 2019. Ideologi tersebut yakni ideologi politik reformasi, ideologi Islam politik, ideologi kembali ke UUD 45 asli, dan ideologi hak asasi manusia.
Pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Denny JA, mengatakan pertarungan ideologi ini ikut bertikai dalam Pilpres 2019. Pertarungan itu tetap akan terjadi sekalipun Joko Widodo dan Prabowo Subianto bergabung.
"Pertarugan ideologi hanya berhenti jika ideologi itu kehilangan pengikutnya dalam jumlah yang signifikan," ujar Denny dalam sambutannya ketika menerima
The Legend Award 4 kali berturut-turut ikut memenangkan pemilu presiden (2004, 2009, 2014, 2019), di Kantornya, Jakarta, Selasa, 2 Juli 2019.
Denny menjelaskan ideologi politik reformasi mulanya dibawa oleh Presiden BJ Habibie saat menjadi presiden pertama era reformasi. Kemudian, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jokowi melanjutkan ideologi tersebut.
"Apa itu paham politik reformasi? Itu adalah varian demokrasi yang khas Indonesia. Ada kebebasan politik di sana. Berbeda dengan Orde Baru ataupun Orde Lama. Ada kebebasan ekonomi. Semua warga negara punya hak yang sama, apapun agamanya," jelas dia.
Tapi, terang dia, ideologi ini berbeda dengan demokrasi di barat. Indonesia mempunyai departemen agama. Negara memberikan peran yang lebih besar pada agama, dibanding demokrasi barat.
"Ini ideologi
mainstrem. PDIP ada di sini. Juga Golkar. Juga kaum minoritas. Dalam pilpres 2019 tempo hari, mayoritas pendukung ideologi ini ada di kubu Jokowi," ujar dia.
Ideologi tersebut, lanjut dia, mendapat tantangan dari tiga ideologi lainnya. Ada ideologi Islam politik yang menginginkan syariat Islam lebih berperan di ruang publik. Hal itu bisa dalam bentuk negara Islam, sistem khilafah atau dengan sebutan NKRI bersyariah.
"Yang menonjol dalam ideologi ini adalah FPI, HTI. Kedua ormas ini berperan signifikan dalam Pilpres 2019, di belakang Prabowo," tegas dia.
Baca: Publik Sulit Bersatu karena Ideologi
Kemudian, ideologi kembali ke UUD 45 asli. Paham ini tak menyetujui sistem politik ekonomi yang berlaku pada saat ini. Mereka menganggap secara politik terlalu liberal. Secara ekonomi, terlalu memberikan ruang pada perusahaan asing.
Pelopor paham ini awalnya adalah Persatuan Purnawirawan Angkaran Darat. Di 2009, tokohnya ialah Letnan Jenderal Suryadi dan eks panglima TNI Jenderal (Purna) Djoko Santoso juga ada di barisan ini. "Dalam Pilpres 2019, Djoko Santoso juga berada di kubu Prabowo," ucap dia.
Terakhir, ideologi Hak Asasi Manusia. Paham ini juga banyak mengkritik pemerintahan Jokowi karena dianggapkurang liberal. Jokowi dianggap kurang tuntas menyelesaikan isu HAM, mulai dari kasus gerakan 65 hingga pembunuhan Munir. Tokoh ideologi ini lebih banyak dari LSM.
LSI Denny JA memprediksi Pilpres 2024 juga masih akan dihiasi dengan perang ideologi ini. Pertarungannya bahkan akan lebih kuat karena mempunyai pengalaman.
"Kedua, yang bertarung nanti, semuanya adalah penantang. Tak ada incumbent. Jokowi tak bisa mencalonkan diri kembali," ujar dia.
Di sisi lain, Denny JA mendapatkan anugerah karena empat kali ikut memenangkan pemilihan presiden secara berturut-turut. Anugerah itu diberikan oleh Lembaga Prestasi Indonesia Dunia (Leprid). "Saya terima hadih ini dengan dua catatan. Pertama, adalah
disclamer. Yang paling menentukan kemenangan Jokowi adalah Jokowi sendiri dan maruf. Lalu tim suksesnya dan partai pendukung. LSI hanya mengisi ruag yang kosong. Peran LSI hanyalah komplementer," ujar dia.
Kedua, anugerah ini juga diberikan kepada seluruh tim LSI. Kerja konsultan politik adalah kerja orkestra. Perannya hanya sebagai dirigen sekaligus pencipta lagu. "Tapi orkestra hanya berbunyi dan harmoni karena ada pemain piano, pembunyi biola, penabuh gendang," ucap dia.
Dia pun mengajak semua pihak untuk bersama-sama memperkuat paham politik reformasi. "Semoga di tahun 2024, juga kembali terpilih presiden yang memperkuat politik reformasi," ujar dia.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id((AZF))