Jakarta: Saksi ahli hukum pidana Universitas Gajah Mada (UGM), Edward 'Eddy' Omar Sharif Hiariej membedah tudingan kecurangan pemilu terstruktur sistematis dan masif (TSM) kubu capres-cawapres nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Dari tiga dalil gugatan kecurangan itu tak dijelaskan secara berkaitan sebab dan akibatnya.
"Alih-alih menggunakan teori kuasa hukum, pemohon sama sekali tidak menyinggung hubungan kausalitas antara terstruktur, sistematis yang berdampak masif dan hubungannya dengan selisih perhitungan suara," ujar Eddy saat persidangan di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jalan Medan Merdeka Barat, Gambir, Jakarta Pusat, Jumat, 21 Juni 2019
Merujuk pasal 286 ayat 3 Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017, perihal 'terstruktur' menunjukan pelanggaran yang dilakukan secara kolektif atau secara bersama-sama. Parameter terstruktur dibuktikan dalam dua hal. Pertama, adanya pertemuan antara para pelaku pelanggaran sebagai syarat subjektif. Kedua, adanya kerjasama yang nyata untuk mewujudkan pertemuan antara para pelaku pelanggaran sebagai syarat objektif secara kolektif atau bersama-sama.
"Hal ini sama sekali tidak terlihat dalam fundamentum Petendi (dasar gugatan)," ujar Eddy yang dihadirkan sebagai ahli dari pihak terkait, kubu capres-cawapres nomor urut 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin.
Baca Juga: KPU Tidak Terima Disebut Bagian Saksi 01
Kemudian mengenai dalil pelanggaran sistematis, ukurannya pelanggaran yang direncanakan secara matang, tersusun bahkan sangat rapi. Ia bilang, dalam konteks ini dikenal dengan dolus premeditatus atau kesengajaan secara sadar yang mensyaratkan beberapa hal dan harus dibuktikan.
"Berbagai dalil yang diutarakan dalam dasar gugatan harus dihubungkan antara satu dengan yang lain atas dasar vermoedens atau persangkaan-persangkaan. Sayangnya vermoedens bukanlah alat bukti dalam hukum acara di MK," jelas Eddy.
Perihal masif, lanjut Eddy, mensyaratkan dampak pelanggaran yang sangat luas pengaruhnya terhadap hasil pemilihan, bukan hanya sebagian. Ia menegaskan harus ada hubungan sebab akibat antara pelanggaran tersebut dan dampaknya.
Eddy menilai, dengan menunjukan beberapa peristiwa, kemudian megeneralisasi bahwa kecurangan terjadi secara TSM, haruslah menggunakan teori secara individual.
"Teori ini (individual) melihat sebab in concreto (peraturan hukum) atau post factum (keadaan setelah peristiwa terjadi). Mengapa harus menggunakan teori individual? Sebab pelanggaran yang terstruktur dan sistematis haruslah menimbulkan dampak yang masif, bukan untuk sebagian tetapi sangat luas. Dalam gugatan dasar, hal ini sama sekali tidak dijelaskan oleh kuasa hukum pemohon," jelas Eddy.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id((WHS))