Jakarta: Sebanyak 62 ribu surat suara hasil Pemungutan Suara Ulang (PSU) di Kuala Lumpur tidak dihitung pada Pemilu 2019. Penyebabnya, surat suara terlambat tiba di tempat penghitungan.
Saksi rekapitulasi nasional Partai NasDem, Dedy Ramanta, mengklaim puluhan ribu surat suara itu masuk di hari penghitungan suara PSU, yaitu 16 Mei 2019. Cap pos pada surat suara tertera 15 Mei 2019.
"Akibat Bawaslu keluarkan rekomendasi tersebut, jadi berpengaruh ke perolehan pileg. Jadi yang kami tegaskan, pada prinsipnya sepanjang 15 Mei masih tetap dihitung," ujar Dedy dalam sidang perselisihan hasil pemilu (PHPU) legislatif di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin, 29 Juli 2019.
Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Kuala Lumpur mengadakan PSU pos di enam provinsi. Pengiriman surat dilakukan sejak 29 April 2019 dan batas penerimaan 15 Mei 2019. Hingga batas yang ditentukan, telah diterima 22.807 surat suara. Namun, surat suara masih berdatangan hingga 16 Mei 2019 sejumlah 62.278 surat suara.
Saksi rekapitulasi nasional NasDem lainnya, Nasrullah, mengutip Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asyari, mengungkapkan definisi batas akhir adalah cap pos, bukan sampai di lokasi tujuan penghitungan.
"Sebab ada kerja sama antara PPLN dan Pos Malaysia, yang disebut bahwa Pos Malaysia hanya mengirim satu kali sehari. Jadi kalau masuk tanggal 14, mengantarnya tanggal 15," terang dia.
(Baca juga:
Saksi PAN Klaim Ada Kecurangan Pemilu di Lembata)
Ketua Bawaslu RI Abhan mengakui ada beberapa perubahan jadwal terkait PSU, pengiriman, penerimaan, dan penghitungan suara.
"Batas penerimaan surat pos dari 13 Mei 2019 menjadi 15 Mei 2019, tidak ada catatan tentang stempel pos," kata dia singkat.
Saksi terkait dari Partai Demokrat, Lukmanul Hakim, juga berpendapat surat suara yang masuk pada 16 Mei 2019 tak perlu dihitung. Alasannya, tidak sesuai prosedur secara teknis.
"Saat truk suara datang, surat suara ada yang dibungkus karung goni, ada yang dalam plastik. Jadi dalam rapat pleno (diputuskan) tak perlu dihitung karena melanggar aturan," kata dia.
Dalam sidang dihadirkan juga ahli hukum administrasi negara, Dian Puji S, selaku ahli pemohon. Ia menjelaskan dalam praktik administrasi pemerintahan, penerimaan dokumen tak berdasarkan pada pengiriman surat tetapi tanggal stempel pos.
Tujuannya, menghindari kemungkinan rekayasa tanggal dokumen oleh salah satu pihak. Selain itu, validasi waktu juga ditentukan oleh pihak ketika dalam bentuk stempel pos. Aturan tersebut tertuang dalam Pasal 397 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Undang-Undang Perpajakan. Tapi, kata dia, tak ada aturan saklek.
"Pengiriman batas pengiriman yang diatur berbeda untuk keleluasan pada pihak dalam menentukan kelanjutan, tetapi harus didasarkan pada pegangan yang jelas," tambah dia.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id((REN))