Jakarta: Kiai sering kali dikaitkan dengan jumlah massa yang besar, termasuk santri atau pendukungnya. Peran strategis
kiai sebagai tokoh yang mampu mengumpulkan banyak orang ternyata dimanfaatkan untuk kepentingan politik.
Ketika memasuki
musim politik, tidak jarang pejabat datang kepada
kiai untuk meminta doa agar masa jabatannya diperpanjang atau mendapatkan dukungan moral berupa massa untuk mendukungnya.
Hal ini dilakukan dengan sadar dan penuh perhitungan. Para politisi yang ingin berkompetisi dalam dunia politik seringkali berpura-pura menjadi tokoh agamis dan menyamar sebagai santri.
Kehadiran kiai dalam dunia politik menjadi perbincangan hangat, terutama ketika
Gus Dur, seorang kiai, menjadi Presiden ke-4 Republik Indonesia, dan kemudian Maruf Amin menjadi Wakil Presiden di bawah kepemimpinan Jokowi.
Strategi bermitra dengan kiai tampaknya menjadi senjata utama bagi para politisi yang ingin meraih sukses. Ada dua alasan kuat mengapa kiai menjadi magnet bagi politisi yang mencari restu.
Pertama, kiai yang seringkali menjadi sasaran kunjungan adalah kiai dari kalangan
Nahdlatul Ulama (NU), karena NU memiliki jumlah pengikut mayoritas di kalangan umat Muslim di Indonesia.
Kedua, para politisi sangat menyadari bahwa kekuatan spiritual memegang peran utama dalam mendukung perjalanan politik mereka.
Peran Kiai dalam Dunia Politik
Mengutip dari artikel jurnal berjudul "Peran Kiai dalam Politik pada Pemilihan Presiden 2019 di Jawa Timur," beberapa kiai sebenarnya tidak ingin identitas politik terlalu mendominasi di Jawa Timur.
Oleh karena itu, upaya untuk mendapatkan dukungan bagi Jokowi dan Maruf Amin pada masa lalu seringkali menemui kendala. Contohnya, dalam kemenangan pasangan Acmad Syafii dan Cholil Asyari sebagai Bupati dan Wakil Bupati Pamekasan pada tahun 2013.
Secara budaya, Pamekasan adalah daerah di mana penduduknya patuh kepada kiai secara mutlak, namun kedua pasangan tersebut tidak mendapatkan dukungan kuat dari kiai.
Kemudian, terdapat perpecahan politik saat Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Timur tahun 2018. Kubu Lirboyo mendukung pasangan Gus Ipul-Puti Sukarno, sementara kubu Tebuireng mendukung Khofifah-Emil Dardak.
Kedua kubu bersaing sengit untuk mendapatkan dukungan dan simpati dari massa yang mereka bawa. Akhirnya, pasangan Khofifah-Emil Dardak keluar sebagai pemenang dalam pemilihan tersebut.
Strategi politik semacam ini kemungkinan akan terus ada di Indonesia karena Islam dan umat Muslim tetap menjadi target yang menarik bagi politisi dalam meraih dukungan politik di Indonesia.
(Abdurrahman)Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id((WAN))