Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH. Marsudi Syuhud mengatakan penyampaian kritik kepada pemerintah adalah ajaran yang memang diajarkan untuk berbangsa dan bernegara dijalankan dengan baik. Agama memerintahkan untuk saling menyampaikan kebenaran, namun ketika menyampaikannya harus dengan kesabaran.
“Agama mengajarkan bahwa penyampaian kritik diperbolehkan, tapi dilakukan dengan sabar dan tidak anarkis. Yang bisa melihat hal itu adalah pihak ketiga,” kata Marsudi saat menjadi narasumber di salah satu stasiun TV swasta, dalam siaran persnya, Rabu, 3 September 2025.
Pihaknya mengapresiasi Presiden RI Prabowo Subianto yang telah cepat mengatasi persoalan politik yang terjadi saat ini. Ada 16 organisasi dikumpulkan, kemudian tokoh dari seluruh agama dan organisasi agama, guna menyikapi masalah ini.
“Ini sesungguhnya yang tidak dipunyai negara lain, tapi di Indonesia punya organisasi organisasi sosial yang independen dan bisa menyeimbangkan ini, dan menyampaikannya kepada publik,” jelasnya.
Ditambahkannya, yang terpenting saat ini adalah DPR atau yang membuat kebijakan harus mengecek kebenaran kondisi masyarakatnya itu lagi seperti apa. Inilah yang menjadi pelajaran dan pengingat kita ke depan jangan sampai demikian, untuk menjadi bangsa yang modern dan beradab.
“Masalah kemarin, kondisinya kurang baik, tapi dilihat di sana ada orang foya-foya dan kesenjangan terasa sekali,” ujarnya.
Sementara itu di tempat yang sama, pakar komunikasi politik Universitas Indonesia, Aditya Perdana mengungkapkan, menyampaikan pendapat dan aspirasi adalah hak setiap warga negara yang dijamin oleh konstitusi.
“Aksi yang destruktif hanya merugikan masyarakat luas, menimbulkan kerugian materi maupun korban jiwa, dan pada akhirnya melemahkan persatuan bangsa yang seharusnya tetap dijaga,” ungkapnya.
Baca juga: Akademisi Indonesia di Inggris Minta Masyarakat Waspadai Provokator Demonstrasi |
Ia menambahkan, kritik yang disampaikan masyarakat bukanlah ancaman, melainkan cermin untuk memperbaiki kebijakan dan tata kelola negara. Respons yang defensif atau represif justru hanya memperlebar jarak antara rakyat dan negara.
“Kritik merupakan wujud partisipasi masyarakat untuk memastikan pemerintah berjalan sesuai dengan kepentingan rakyat. Tapi, kebebasan ini harus disalurkan dengan tertib, tidak anarkis, dan tidak melanggar hukum,” tuturnya.
Menurutnya, keseimbangan antara kebebasan berpendapat masyarakat dan keterbukaan pemerintah menjadi kunci. Warga tetap dapat menyampaikan kritik dengan damai dan konstruktif, sementara pemerintah menanggapi dengan dialog, transparansi, dan langkah nyata dalam perbaikan.
“Dengan demikian, persatuan bangsa terjaga, rakyat tidak dikorbankan, dan negara justru semakin kuat karena ditopang oleh partisipasi publik yang sehat dan pemerintahan yang responsif,” pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News