Jakarta: Komisi Pemilihan Umum (KPU) berharap Mahkamah Konstitusi (MK) segera memutus gugatan uji materi (judicial review) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. KPU ingin persoalan ketersediaan surat suara bagi pemilih pindahan dalam daftar pemilih tambahan (DPTb) segera diatasi.
"Kami yakin MK sudah punya pengalaman memutuskan materi uji materi undang-undang Pemilu dengan waktu yang sangat singkat," kata Komisioner KPU, Viryan Azis, di Gedung KPU RI, Jalan Imam Bonjol, Jakarta, Jumat, 8 Maret 2019.
Viryan yakin MK dapat memahami kompleksitas penyelenggaran pemilu saat ini. Ini bukan kali pertama uji materi undang-undang Pemilu digugat saat proses pemilu tengah berjalan.
Dia menjelaskan terdapat sejumlah aturan baru dalam UU Pemilu yang diberlakukan saat ini. Namun, aturan itu justru malah menimbulkan masalah. Salah satunya terkait pengurusan pindah memilih yang ditetapkan paling lambat 30 hari sebelum pemungutan suara.
"Bagaimana kalau mengurusnya kurang dari 30 hari? Kemudian yang jadi problem adalah perilaku pemilih kita. Bagaimana soal administrasi pindah memilih jika pemilih baru sadar jelang masa pemungutan suara? KPU sudah berikhtiar untuk mengubah itu. Dengan menyosialisasikan pindah memilih sebelum H-60. Namun hasilnya kan baru 270 ribu," ujarnya.
Viryan menambahkan Pasal 344 ayat (2) UU Pemilu juga mengabaikan hak pilih pemilih pindahan. Pasalnya, aturan tersebut mengatur KPU hanya dapat memproduksi surat suara sesuai jumlah daftar pemilih tetap (DPT) ditambah 2 persen dari DPT untuk surat suara cadangan.
(Baca juga:
KPU Diimbau Keluarkan PKPU Terkait Pemilih yang Pindah)
Surat suara cadangan sebesar 2 persen dari DPT itu yang dialokasikan untuk pemilih pindahan, sementara di sejumlah titik, pemilih pindahan bisa saja melampaui 2 persen surat suara cadangan.
Viryan mengatakan, selama belum ada keputusan hukum baru, KPU tetap berpegangan pada aturan lama. KPU akan mengoptimalkan pendistribusian pemilih ke TPS tujuan secara proporsional.
"Namun konsekuensinya adalah pemilih itu bisa terdata DPTb dengan jarak dari tempat tinggal dia yang cukup jauh. Misalnya bisa dua sampai lima kilo dari tempat tinggal, dan ini berpotensi menjadi keengganan pemilih untuk menggunakan hak pilihnya," kata Viryan.
Sebelumnya, Senior Partner Indrayana Centre for Government, Constitution, and Society (Integrity) Denny Indrayana mengajukan uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Dia beserta elemen masyarakat lain menyoalkan lima pasal.
"Kami sudah mendaftarkan permohonan uji konstitusionalitas untuk UU Pemilu. Permohonan ini tujuan utamanya adalah menyelamatkan suara rakyat pemilih," kata Denny di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Selasa, 5 Maret 2019.
Pasal yang dipersoalkan adalah Pasal 348 ayat (9), Pasal 348 ayat (4), Pasal 210 ayat (1), Pasal 350 ayat (2), dan Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu. Menurut Denny, pengujian pasal dilakukan karena dinilai menghambat dan berpotensi menghilangkan hak pemilih.
"Misalnya, ada syarat untuk punya KTP-el (Pasal 348 ayat 9), itu masih ada. Saya konfirmasi ke Dirjen Dukcapil (Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Zudan Arif Fakrulloh), walaupun beliau sudah berusaha bekerja, lebih kurang 4 juta yang belum," kata Denny.
Dalam permohonan ini, Denny menggandeng pihak lain. Mereka di antaranya mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hadar Nafis Gumay dan Direktur Eksekutif Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini.
(Baca juga:
Dua Opsi Pemenuhan Hak Pemilih Tambahan)
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id((REN))