Jakarta: Mantan Ketua
Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie, mengatakan masalah batasan umur calon presiden dan wakil presiden (
capres-cawapres) tak bisa dipandang sebagai diskriminasi. Batas umur dinilai salah satu bagian dari persyaratan kerja.
Hal itu disampaikan Jimly menanggapi tentang
judicial review (JR) Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2023 tentang Pemilu terkait batasan umur capres-cawapres, yang diajukan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) ke MK. Jimly mengatakan masalah umur bukan bentuk ketidakadilan.
“Itu persyaratan pekerjaan. Setiap jenis pekerjaan persyaratannya beda-beda, termasuk persoalan usia,” kata Jimly, Minggu, 15 Oktober 2023.
Dia mencontohkan persyaratan usia PNS dengan TNI. Angkatan bersenjata bisa saja mengajukan gugatan jika ingin menyamakan usia pensiun dengan PNS.
“Kalau kemudian TNI menganggap TNI tidak adil lalu mengajukan JR agar disamakan dengan PNS umur 60, dengan alasan masih kuat (jadi TNI). Apakah itu bisa dinilai sebagai diskriminasi? Tentu tidak. Itu adalah syarat pekerjaan yang beda-beda asal diatur dengan UU,” ungkap dia.
Jimly mengaku tak masalah jika hakim MK memiliki pandangan berbeda. Sebab, mereka memiliki kewenangan memutuskan hal itu.
“Kita hormati walaupun kita tidak suka. Terlebih kalau putusannya tidak aklamasi. Misalnya ada
disentting opinion. Malah itu menunjukkan adanya perdebatan internal (MK),” sebut dia.
Jimly mengatakan persoalan batas minimal usia capres-cawapres ini mirip dengan calon independen atau
presidential threshold. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 juga tidak mengatur masalah umur capres atau cawapres.
"Dan masalah itu (batas usia minimal capres-cawapres) diserahkan pada pembuat UU. Tapi UU ini tidak boleh keluar dari semangat UUD," ujar dia.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id((ABK))